Jakarta, Portonews.com – Setiap hari, ribuan pekerja migran Indonesia melaut, berharap bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka. Namun, sebuah laporan terbaru dari Greenpeace Asia Tenggara dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkapkan kenyataan pahit di balik layar industri perikanan global. Laporan berjudul “Netting Profits, Risking Lives: The Unresolved Human and Environmental Exploitation at Sea”, yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember 2024, mengungkapkan praktik kerja paksa dan eksploitasi yang dialami oleh awak kapal perikanan migran Indonesia di kapal-kapal berbendera Taiwan.
Selama lebih dari satu dekade, Greenpeace Indonesia dan SBMI telah bersama-sama mengungkap pelanggaran hak-hak pekerja migran dan mendorong perbaikan kebijakan. Laporan ini merupakan bagian ketiga dari serangkaian penyelidikan yang dimulai pada 2019 dan berlanjut pada 2021. Melalui riset yang mendalam, laporan ini membuka mata dunia tentang dampak buruk dari praktik perikanan yang tidak manusiawi.
Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Senior Greenpeace Asia Tenggara, menyatakan, “Temuan yang terungkap dalam laporan ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Greenpeace dan SBMI berkomitmen untuk terus menggali lebih dalam, karena ini bukan hanya soal hak pekerja, tapi juga masa depan laut kita yang sangat tergantung pada perubahan sistemik.”
Laporan ini mengungkap 10 kasus yang mencakup keluhan dari pekerja migran Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Taiwan antara 2019 hingga 2024. Para pekerja ini, yang sebagian besar bekerja di kapal ikan tuna jarak jauh, ternyata menjadi korban praktik kerja paksa. Dalam beberapa kasus, mereka diharuskan membayar biaya perekrutan yang sangat tinggi, jauh lebih besar dari gaji yang mereka terima. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak dibayar selama berbulan-bulan, yang menyebabkan krisis ekonomi di keluarga mereka.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI, dengan tegas mengungkapkan, “Alih-alih mendapatkan penghidupan layak, mereka justru terjebak dalam perbudakan modern. Masalah ini sudah lama berlangsung, namun pemerintah Indonesia dan pihak terkait tampak tidak berbuat banyak untuk melindungi hak mereka. Pembiaran ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius.”
Laporan ini juga menyoroti beberapa masalah utama yang sangat meresahkan:
- Perbudakan Modern di Laut: Para pekerja migran melaporkan berbagai bentuk eksploitasi, mulai dari penipuan hingga penahanan dokumen identitas. Hampir semua pekerja mengalami penyalahgunaan kerentanan dan berutang untuk biaya perekrutan yang tinggi.
- Eksploitasi Finansial: Biaya perekrutan yang ilegal ini bisa mencapai puluhan juta rupiah, yang seharusnya digunakan untuk mendukung keluarga mereka. Selain itu, gaji mereka sering kali ditahan hingga berbulan-bulan, tanpa kejelasan kapan mereka akan dibayar.
- Perikanan Ilegal: Banyak kapal berbendera Taiwan yang terlibat dalam praktik IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing), seperti menangkap ikan di kawasan konservasi dan melakukan pemindahan muatan ilegal di tengah laut. Bahkan ada laporan mengenai praktik shark finning yang sudah dilarang secara internasional.
- Keterlibatan Merek Global: Beberapa kapal yang teridentifikasi terhubung dengan perusahaan besar di AS, seperti merek tuna kalengan Bumble Bee. Ini menunjukkan bahwa industri global turut berperan dalam keberlanjutan praktik yang merugikan pekerja dan lingkungan.
Dengan data dan temuan ini, Greenpeace dan SBMI menyerukan kepada pemerintah Indonesia, Taiwan, dan Amerika Serikat untuk melakukan perubahan signifikan. Mereka mendesak untuk memperketat kebijakan di sektor perikanan, memastikan tanggung jawab perusahaan dalam menghentikan praktik yang tidak manusiawi, dan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi pekerja migran, termasuk menyediakan mekanisme pengaduan yang efektif dan transparan.
Semoga laporan ini tidak hanya membuka mata dunia, tetapi juga menjadi momentum untuk perubahan yang lebih baik untuk pekerja migran, untuk konsumen, dan untuk laut kita. Seperti yang disampaikan oleh Arifsyah Nasution, “Kami berjuang untuk masa depan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan bagi semua.”
- Sumber : Greenpeace Indonesia