Jakarta, Portonews.com – Ancaman Konflik di Laut China Selatan (LCS) terhadap kedaulatan Indonesia ternyata belum menjadi kesadaran bersama bangsa. Terutama di Natuna, Kepulauan Riau. Sementara dari hasil jajak pendapat yang dirilis Litbang Kompas memperlihatkan 78,9 persen responden menganggap manuver China di LCS mengancam negara-negara ASEAN. Termasuk Indonesia.
Padahal negeri Tiongkok tersebut mengklaim Natuna masuk dalam peta terbarunya; menjadi ten-dash lines, yang overlapping dengan Zona Ekonomi Ekslusif /ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
Buntutnya, sebuah surat dari Diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia menuntut Indonesia menyetop eksplorasi pengeboran minyak dan gas bumi di Natuna, yang diklaim Beijing sebagai teritorinya di LCS. Protes China ini pertama kali dilaporkan kantor berita Reuters mengutip empat sumber terkait isu LCS ini. Sementara Indonesia mengatakan ujung selatan Laut China tersebut zona ekonomi ekslusifnya menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Sejatinya, manuver negeri Tirai Bambu yang mengklaim Natuna sebagai teritorinya menyadarkan bangsa Indonesia akan ancaman terhadap kedaulatan NKRI. Tetapi kesadaran tersebut belum muncul di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di Natuna. “Jika tidak percaya, datang saja ke Kepri, khususnya ke Natuna. Ditingkatan elit maupun di tengah masyarakat, isu ancaman konflik LCS tidak terdengar beritanya,” kata Riky Rinovsky, salah seorang masyarakat Natuna pada Portonews, Jumat (24/5/2024). Belum ada kesadaran bersama bahwa ancaman kedaulatan akibat konflik di LCS itu nyata.
“Masalah LCS belum jadi masalah bersama masyarakat Indonesia, khususnya masalah bagi masyarakat Kepulauan Riau,” katanya.
Dalam amatan Riky, sapaan akrabnya, pada tahun 2024 yang penuh hiruk-pikuk kampanye dan janji-janji manis politik di kontestasi Pemilu baik legislatif, Pilpres hingga pemilihan kepala daerah (Pilkada) nanti, isu LCS tidak mendapat tempat.
“Ditingkat elit Kepri, saat ini isu yang ramai dibicarakan adalah isu pemekaran Kabupaten Natuna-Kepulauan Anambas menjadi provinsi dan berpisah dari Kepri,” tandasnya. Wacana lama yang selalu muncul setiap momen pemilu legislatif dan pilkada yang dimainkan sebagai strategi menarik simpati masyarakat Natuna.
Sedangkan terkait hasil survei Litbang Kompas yang menganggap manuver China di LCS mengancam kedaulatan Indonesia dipaparkan peneliti Litbang Kompas Dimas Okto dalam webinar webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies, Selasa (19/3/2024).
“Kehadiran China di Laut China Selatan dianggap menjadi ancaman bagi negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Sebanyak 78,9 persen responden menyebut manuver China di Laut China Selatan mengancam negara-negara ASEAN,” kata Dimas Okto. Mayoritas yang mendukung persepsi itu disampaikan oleh Gen Y sebanyak 34 persen, Gen X (31,9 persen), Baby Boomer (22,3 persen), dan Gen Z (11,6 persen).
Sementara itu, sebanyak 16,5 persen responden menyebut kehadiran China di LCS menguntungkan bagi negara-negara ASEAN. Kemudian, terdapat 4,5 persen yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab. Sebagian responden menilai ASEAN sebagai mitra yang sesuai untuk memperkuat wilayah Indonesia di Laut China Selatan. Malaysia adalah negara ASEAN yang dipilih mayoritas responden sebanyak 49,5 persen, disusul Singapura 15,8 persen, dan Filipina 12,7 persen.
Kekayaan sumberdaya alam
Jika ditelisik dari sisi geografis, kata Riky, Kabupaten Natuna, tak ubahnya seperti serambi Indonesia di hadapan negara-negara besar yang melingkar di Laut China Selatan. Selain perikanan, imbuhnya, kekayaan mineral yang terkandung di dalam Laut Natuna Utara sudah menjadi lirikan pengusaha Negara-Negara besar di dunia.
“Tidak hanya Vietnam dan Malaysia, bahkan perusahaan-perusahaan migas kelas dunia berlomba-lomba ingin mengeksploitasi kandungan migas dan mineral yang ada di lautan Natuna,” terangnya.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan migas di Laut Natuna Utara cukup besar. Cadangan minyak bumi terbukti di Laut Natuna Utara sebesar 92,63 juta standar barel atau milion stock tank barrel (MMSTB).
Sementara itu, cadangan potensial minyak bumi di Laut Natuna Utara adalah 137,13 MMSTB. Cadangan potensial itu terdiri dari cadangan harapan sebesar 88,90 MMSTB dan cadangan mungkin 48,23 MMSTB.
Di sisi lain, cadangan gas bumi terbukti di Laut Natuna Utara adalah 1.045,62 juta kaki kubik atau billions of standard cubic feet (BSCF). Sedangkan cadangan gas bumi potensial di Laut Natuna Utara sebesar 1.605,24 BSCF yang terdiri dari 1.083,61 BSCF cadangan harapan dan 521,63 BSCF cadangan mungkin.
Sementara itu dalam skala nasional, cadangan minyak bumi di Indonesia sebesar 3.774,6 MMSTB dan gas bumi sebesar 77,29 triliun kaki kubik atau trillions of standard cubic feet (TSCF).
Sebenarnya ada “harta karun” lebih besar di Natuna yaitu cadangan hidrokarbon raksasa mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF) di Blok Natuna Timur. Menurut mantan Direktur Jenderal Migas KESDM, Tutuka Ariadji, cadangan gas di Lapangan East Natuna di Perairan Natuna sangat besar. Potensinya mencapai dua kali dari Blok Masela.
“East Natuna itu second life of Indonesia. Dua kali Masela cadangannya,” kata Tutuka beberapa waktu lalu di Jakarta. Jika Indonesia mengembangkan Lapangan East Natuna, sambung Tutuka, maka negara tak akan kekurangan gas.
Tidak hanya East Natuna, baru-baru ini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Premier Oil Tuna B.V. berhasil menemukan cadangan minyak dan gas bumi (migas) di Wilayah Kerja (WK) atau Blok Tuna. Wilayah Kerja Tuna ini berada di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam.
Jamak diketahui, berdasarkan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), Perairan Laut Natuna bagian utara merupakan perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Kawasan tersebut mempunyai potensi sumber daya laut dan keaneragaman yang melimpah. Hal itu memicu kapal asing memasuki wilayah kedaulatan RI.
Dahulu, terang Riky, walaupun kini sayup sayup terdengar, kapal asing itu berbondong-bondong menggunakan pukat untuk mengeruk kekayaan sumber daya perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti ikan cakalang, tuna, dan tongkol. Bahkan nelayan asing itu dikawal sejumlah kapal Coast Guard saat melakukan aktivitas ilegal di ZEE Indonesia.
“Pulau Natuna saat ini, tak ubahnya seperti serambi tanpa pelita dan beranda. Infrastruktur yang ada dirasa belum cukup dibanding apa yang ada pada negara tetangga lainnya,” ungkapnya.
Dari sisi historis, Natuna pun sangat strategis. Sejak zaman dahulu, Natuna telah menjadi tempat persinggahan pedagang-pedagang asing yang melintasi Selat Malaka maupun Laut China Selatan menuju Nusantara. Hal ini terbukti dari beberapa penemuan peninggalan sejarah berupa keramik dan benda berharga lainnya yang berasal dari negara luar.
Begitu banyaknya devisa yang bisa diraup selain potensi perikanan dan pertambangan/ migas jika Natuna mau menggeliat dan membuka diri bagi investor baik dalam maupun luar negeri. Dengan konturnya yang menarik, potensi wisata bahari dapat menjadi pilihan lainnya yang dikembangkan. Dapat dibayangkan betapa banyak lapangan pekerjaan yang akan terbuka bagi masyarakat Natuna, cash flow semakin besar dan tentunya akselerasi pembangunan juga akan semakin cepat di Natuna.
Perkuat diplomasi dan pertahanan maritim
Sementara itu pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan konflik di LCS mengancam kedaulatan Indonesia. “Utamanya dengan klaim teritorial China yang mencakup wilayah perairan Indonesia. China mengeluarkan peta dengan sembilan garis putus (nine-dash line) yang kemudian diperbarui menjadi sepuluh garis putus (ten-dash line), tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, kaya akan minyak dan gas bumi,” katanya pada Portonews, Jumat (24/5/2024) di Jakarta. Oleh sebab itu, lanjutnya, harus memperkuat kedaulatan maritim dan memastikan Natuna tidak mudah dicaplok negara lain. Kita memerlukan strategi komprehensif yang mencakup aspek militer, diplomasi, hukum internasional, dan kerjasama regional,” ungkapnya.
Dari perspektif hukum internasional, lanjut Hakeng, sapaannya, klaim China ini tidak memiliki dasar kuat. Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016 memutuskan klaim sembilan garis putus tidak sah dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Meskipun putusan ini mendukung negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, China tetap tidak mengakuinya.
“Dengan begitu kepastian bahwa kedaulatan dan integritas teritorial adalah prioritas utama Indonesia. Konflik di LCS mengancam kedaulatan Indonesia dengan menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi konflik militer, serta merugikan ekonomi nasional melalui eksploitasi sumber daya alam tanpa persetujuan Indonesia.” paparnya. Sebab itu, Pemerintah Indonesia harus merespons dengan memperkuat pertahanan di Natuna melalui peningkatan patroli maritim dan udara serta penempatan pasukan militer, menunjukkan komitmen dalam mempertahankan kedaulatannya.
Berbarengan dengan ini, kata Hakeng, diplomasi juga berperan penting. “Indonesia harus mendorong penyelesaian konflik melalui ASEAN dan forum internasional lainnya, mendukung Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) dan percepatan penyusunan Code of Conduct (COC),” terangnya. Disamping itu, diperlukan juga membangun koalisi dengan negara-negara yang memiliki kepentingan serupa dalam menjaga kebebasan navigasi dan hukum internasional di Laut Cina Selatan, termasuk kerjasama dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Australia untuk menekan klaim sepihak China.
Dari perspektif hukum internasional, kata Hakeng, pemerintah harus terus mengedepankan pendekatan hukum dengan merujuk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Diketahui, Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2016 telah memutuskan bahwa klaim sembilan garis putus China tidak memiliki dasar hukum. “Kita harus menggunakan putusan ini untuk menegaskan kembali hak-hak kita di ZEE Natuna dan melengkapi langkah-langkah ini dengan pengajuan peta maritim resmi yang diakui internasional,” ujarnya. .
Sedang dari perspektif kerjasama regional, pemerintah harus mendorong ASEAN untuk memainkan peran lebih proaktif dalam mengatasi sengketa di Laut Cina Selatan, menyatukan suara negara anggotanya dalam menolak klaim sepihak, dan mendukung penyelesaian konflik melalui jalur damai. “Kita juga dapat memimpin inisiatif untuk memperkuat kerjasama maritim di kawasan melalui patroli bersama dan pertukaran informasi intelijen,” paparnya.
Pada titik inilah, lanjut Hakeng, peran dan pendekatan kekuatan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam menghadapi konflik di LCS sangat penting. Ia merupakan subjek penting yang melibatkan sejumlah variabel. Faktor-faktor seperti dinamika politik dalam negeri dan strategi diplomasi internasional akan mempengaruhi peran serta serta keputusan Prabowo terkait LCS.
“Kekuatan Presiden dalam konteks ini tidaklah absolut, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, serta keterlibatan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya,” tandas Hakeng. Oleh karena itu, untuk memahami sepenuhnya dampaknya, perlu dilihat secara holistik, termasuk kemampuan Presiden terpilih Prabowo untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait dan menjaga stabilitas politik dalam negeri.
Selain itu, sebagai Presiden terpilih, Prabowo akan dihadapkan pada tuntutan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi regional dan global terkait LCS. Perannya dalam membangun konsensus di antara negara-negara ASEAN, dan dalam hubungan bilateral dengan negara-negara terkait LCS, akan menjadi krusial dalam menentukan arah kebijakan Indonesia.
Tidak hanya itu, kata Hakeng, Presiden terpilih Prabowo juga diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk membangun kerjasama yang lebih erat dengan negara-negara mitra strategis Indonesia dalam menyelesaikan konflik LCS. “Dengan memperkuat jejaring diplomasi bilateral dan multilateral, Indonesia dapat memperoleh dukungan yang lebih luas dalam menegakkan hukum internasional dan memperjuangkan perdamaian serta stabilitas di LCS,” saran Hakeng.
Oleh karena itu, kekuatan Presiden Prabowo dalam menangani konflik LCS tidak hanya bergantung pada keputusan individu, tetapi juga pada kemampuannya untuk memobilisasi sumber daya dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat.
Terkait keterlibatan lembaga-lembaga pemerintahan ini, Taviota Bay, mantan Staf Khusus Bakamla (Badan Keamanan Laut RI) memberikan masukan kepada presiden terpilih Prabowo Subianto. “Bakamla diperkuat kewenangannya melalui UU. Sehingga ia memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan hingga penangkapan dan lain sebagainya,” katanya pada Portonews, Selasa (30/1//2024) di Jakarta. Dengan kata lain memiliki kewenangan penuh terkait pengamanan, lingkungan dan pertahanan sehingga Bakamla pun jika dalam keadaan darurat dapat berfungsi sebagai pertahanan.
Bila Bakamla diperkuat dengan UU, maka lembaga ini akan memiliki kewenangan untuk mengkoordinir satuan-satuan lain untuk melakukan pengamanan. Selama ini Bakamla, karena dibentuk melalui Kepres (Keputusan Presiden) sehingga tidak mempunyai kewenangan yang lebih luas.
Kondisi riil saat ini, Bakamla tidak cukup memiliki kapal patroli sehingga harus bergabung dengan lembaga lain ketika melakukan patroli ke seluruh wilayah Indonesia. Seharusnya Bakamla memiliki kewenagan lebih besar. Karena itu, Taviota berharap, perlu ada revisi atau revitalisasi dari UU Badan Keamanan Laut.
Dari paparan tersebut sejatinya dapat ditarik kesimpulan, untuk menangkal ancaman negara-negara lain di LCS, pemerintah Indonesia mengkosolidasikan seluruh potensi kekuatannya dari sisi internal dan eksternal. Apalagi, Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih memiliki latar belakang militer yang mumpuni tidak saja di bidang pertahanan tetapi cerdik di kancah diplomasi global.