Jakarta, Portonews.com – Dua orang mahasiswa, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan kembali hadir ke Mahkamah Konstitusi guna menghadiri sidang pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang kedua untuk Perkara Nomor 12/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan para Pemohon ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Fauzi menyebutkan perbaikan yang telah dilakukan pihaknya, di antaranya para Pemohon telah menambahkan uraian mengenai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 dan penambahan uraian mengenai kerugian faktual yang dialami akibat keberlakuan pasal yang diujikan. Berikutnya para Pemohon menambahkan penjelasan pada posita dan melengkapi lampiran tentang jadwal penyelenggaraan pilkada serentak yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024.
“Pada permohonan ini juga telah ditambahkan uraian tentang kerugian yang spesifik adalah tidak adanya kepastian hukum akibat adanya pencalonan anggota legislatif terpilih apabila ingin mencalonkan diri pada Pilkada beberapa daerah. Kami juga mencantumkan beberapa nama anggota legislatif yang terpilih dan berpotensi besar untuk mencalonkan diri dalam bursa pencalonan kepala daerah,” jelas Fauzi yang hadir secara langsung di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Sebelumnya, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Jumat (2/2/2024), Fauzi mengatakan pasal tersebut menyebutkan pengunduran diri dari posisi anggota DPR, DPD, atau DPRD yang ingin menjadi peserta dalam pilkada. Namun pada pasal tersebut tidak mengakomodir soal pengunduran diri bagi calon legislatif terpilih yang belum dilantik. Akibatnya, dikhawatirkan adanya konflik status antara caleg terpilih Pemilu 2024 dengan pasangan calon peserta Pilkada 2024. Bahkan jika dilanjutkan, sambung Fauzi, hal demikian bisa menghalangi proses kaderisasi dalam partai politik.
Lebih lanjut Alfarizy meneruskan alasan permohonan bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada yang dilakukan serentak pada 2024 ini berpotensi besar pada munculnya dual mandate bagi peserta yang ikut dalam kontestasi pesta demokrasi tersebut. Kondisi ini menurut para Pemohon merugikan masyarakat yang pad awalnya memilih seseorang untuk mengisi satu posisi saja, justru harus menerima realitas terdapat kandidat yang dipilihnya dalam pemilu legislatif kemudian maju menjadi kepala daerah tanpa mengundurkan diri.
Dalam permohonan provisi, para Pemohon meminta MK memprioritaskan perkara ini, dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya masa PHPU atau sebelum dimulainya tahapan pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada Tahun 2024.
Kemudian dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “juga menyatakan pengunduran diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU.” Sehingga menurut Pemohon, selengkapnya Pasal 7 ayat (2) huruf s berbunyi, “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”