Sambil terus mengikuti proses rekapitulasi nasional di KPU, mari kita lihat kembali realitas di lapangan yang cenderung tidak mendukung hadirnya pemilu yang sehat dan demokratis. Pemilu telah bergeser dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik alias amplop. Gejala “amplopisme” sudah hampir merata di seluruh Dapil dan tingkatan pemilihan.
Mendengar cerita dari caleg yang berhasil maupun tidak berhasil, termasuk memantau sendiri dengan detil di lapangan, rasanya sulit menemukan caleg yang tidak menggunakan teknik amplop. Jika pun ada, prosentasenya sangat kecil. Jika pun ada ya.
Tentu hal ini terkait dengan pilihan sistem pemilu kita yang bertemu dengan realitas politik partai (dan caleg) dan keadaan para pemilih.
Sistem proporsional terbuka yang selama ini saya yakini lebih baik, turut berkontribusi terjadinya “brutalisme kompetisi” logistik. Sistem ini sudah seperti mengundang dan bahkan (hampir) memaksa para caleg untuk menempuh ideologi “amplopisme” dalam mendapatkan dan mengumpulkan suara. Ironi banget!
Sudah menjadi lazim kalau terdengar ada caleg DPR yang habis puluhan milyar untuk berhasil. Bahkan tidak sedikit yang masih gagal juga. Di beberapa daerah saya bertemu dengan fakta bahwa untuk DPRD Kabupaten/ Kota perlu milyaran juga. Ada bahkan yang habis 1,5 milyar bahkan lebih yang juga tetap belum berhasil. Sungguh realitas yang mengerikan dan menyedihkan.
Ini sudah jauh dari tujuan dasar sistem proporsional terbuka untuk membangun akuntabilitas politik wakil rakyat dan mendorong partai untuk memperbaiki rekruitmen politik. Keadaan di lapangan sudah cenderung destruktif.
Budaya politik demokrasi bukan saja tidak terbentuk, tetapi bibit2 yang telah tersemaikan sudah tergejala layu. Pemilih termobilisasi oleh kuasa logistik atau daya magnetis amplop. Realitas ini mengubah cara pandang saya tentang sistem proporsional terbuka yang ternyata diselenggarakan dengan penuh distorsi.
Saatnya kita evaluasi lagi sistem pemilu. Jika keadaan lapangan begini, sistem proporsional semi terbuka perlu dilihat lagi : kembali ke nomor urut, kecuali caleg yang mendapatkan 1 kuota kursi. Bahkan mungkin sekalian sistem proporsional tertutup : coblos partai saja.
Jika sistem proporsional semi terbuka yang dipilih (kembali) atau bahkan sistem proporsional tertutup, yang perlu “ditertibkan” adalah partai, khususnya dalam proses rekruitmen dan penyusunan daftar caleg. Partai harus disiplin dan menghindari transaksi politik gelap dalam proses penyusunan nomor urut dalam daftar caleg.