Jakarta, Portonews.com – Saat ini Pemerintah Indonesia menyusun peta jalan pemanfaatan energi terbarukan sampai tahun 2060. Targetnya, energi surya dan bayu bakal menjadi mayoritas pembangkitannya. Harapannya energi terbarukan secara ekstensif dapat mengurangi persoalan lingkungan dan sumber daya. Apatah lagi menilik komitmen Pemerintah mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Namun karena kapasitas terbesar sumber energi terbarukan yang terpasang bersifat intermitten dan fluktuasi maka dibutuhkan banyak perubahan mendasar pada sistem tenaga listrik. Misalnya soal perencanaan dan pengoperasiannya untuk menjaga keandalan dan kualitas layanan energi. Belum lagi soal stabilitas dan operasi sistem tenaga listrik dengan adanya penetrasi energi terbarukan yang tinggi ke sistem jaringan listrik.
Di sisi lain, sistem ketenagalistrikan masih memproduksi emisi yang sangat besar karena masih didominasi energi fosil. Karenanya perlu transformasi ke energi terbarukan. Pada titik inilah relevansi hasil riset dari Prof Dr Cuk Supriyadi Ali Nandar, Kepala Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang dinamika dan stabilitas sistem tenaga listrik melalui teknologi jaringan listrik cerdas (teknologi smart grid) sangat diperlukan untuk mendukung transisi energi.
Kaitan smart grid dengan peningkatan stabilitas sistem tenaga listrik dalam mendukung transisi energi, menurut alumnus S1 Teknik Elektro, di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini adalah smart grid merupakan penggabungan teknologi informasi, sensor, kontrol, teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan machine learning (ML) dan komunikasi digital dua arah pada proses ketenagalistrikan mulai dari pembangkitan, transmisi, distribusi dan retail/konsumen. Jadi teknologi kontrol adalah salah satu teknologi pendukung smart grid yang berperan untuk meningkatkan stabilitas sistem tenaga listrik.
“Pengembangan teknologi smart grid tidak lepas dari penetrasi energi terbarukan yang menjadi tulang punggung pencapaian target net-zero emission. Tapi keterbatasan energi terbarukan yaitu intermensi dan rendahnya sistem inersia dapat menurunkan kehandalan dan kestabilan sistem tenaga listrik,” kata Cuk Supriyadi pada Portonews, Senin (15/7/2024) di Jakarta. Karenanya masalah tersebut harus segera diantisipasi sejak dini.
Riset teknologi smart grid ini, lanjut Cuk Supriyadi, untuk meningkatkan keselamatan, keandalan, efisiensi dan kualitas pasokan tenaga listrik sangat relevan dengan isu transisi energi. Salah satu strategi utama transisi energi di Indonesia adalah pemanfaatan energi terbarukan secara masif.
Meningkatnya penetrasi energi terbarukan yang intermiten dan fluktuasi ke jaringan sistem tenaga listrik, terang Cuk Supriyadi, menyebabkan penurunan stabilitas, Karena itu diperlukan penyesuaian jaringan listrik sehingga penelitian untuk menganalisis dampak unit pembangkit energi terbarukan terhadap stabilitas sistem tenaga listrik menjadi sangat relevan.
“Untuk menjawab tantangan tersebut, salah satu solusi adalah perlu adanya transformasi dari struktur sistem tenaga listrik konvensional ke sistem tenaga jaringan listrik cerdas (smart grid),” paparnya.
Diketahui sistem tenaga listrik konvensional telah ada selama lebih dari 50 tahun. Tidak ada yang menyangkal bahwa keandalan teknologi listrik telah ditingkatkan dan manfaatnya dirasakan selama bertahun-tahun. Tapi, lanjut peraih beasiswa S2 dari AUN/Seed-net JICA(Japan) di King Mongkut’s Institute of Technology Ladkrabang, Thailand ini, selama beberapa tahun terakhir, pengoperasian sistem tenaga listrik perlu menghadirkan peningkatan keselamatan, keandalan, efisiensi dan kualitas pasokan tenaga listrik karena adanya tuntutan aspek ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial.
Kini, ungkap peraih Doktor dari Jepang ini, terjadi perubahan mendasar dalam desain dan paradigma operasional sistem kelistrikan konvensional dan smart grid, yaitu: dari sumber daya terpusat ke sumber daya terdistribusi, dari arah aliran daya yang dapat diprediksi ke arah yang tidak dapat diprediksi, dari jaringan pasif ke jaringan aktif yang memungkinkan partisipasi demand dalam pengoperasian sistem tenaga listrik.
“Dalam konteks ini, jaringan listrik akan lebih dinamis dalam konfigurasi dan operasionalnya, yang akan menghadirkan banyak peluang tidak hanya untuk optimasi tetapi juga banyak tantangan teknis baru,” tandas Cuk, sapaan akrabnya, seraya memaparkan beberapa efek negatif bila jaringan lisrik tidak stabil, diantaranya menyebabkan kerusakan pada peralatan elektronik, seperti komputer, televisi, dan peralatan lainnya.
Dampak lainnya, menyebabkan pemborosan konsumsi energi dan kerugian finansial untuk membayar tagihan listrik yang meningkat dan/atau mengganti/memperbaiki peralatan yang rusak. “Bahkan jika jaringan listrik tidak stabil di tingkat jaringan transmisi dapat menyebabkan pemadaman total atau black out pada area yang luas dan memerlukan pemulihan lebih lama,” terang pria kelahiran Blora, 15 Januari 1980.
Peristiwa black out di luar negeri, yaitu;
Pertama. black out di Manhattan, New York terjadi pada13 Juli 2019.
Kedua, black out di Venezuela terjadi pada 22 Juli 2019.
Ketiga, black out di Libya terjadi pada 3 Agustus 2019.
Keempat, black out di Kenya terjadi pada 3 Agustus 2019.
Kelima, black out di Washington terjadi 27 Juli 2019.
Keenam, black out terjadi di Amerika Serikat Bagian Timur dan Kanada pada 14 Agustus 2003. Saat itu terdapat 21 pembangkit listrik mati. Durasi black out hanya dalam waktu 3 menit. Akibatnya, sekitar 50 juta orang dirugikan dengan peristiwa black out tersebut.
Sedangkan peristiwa black out di Indonesia, yaitu :
Pertama, black out di Pulau Jawa dan Bali terjadi pada 13 April 1997.
Kedua, black out Jawa Bagian Barat terjadi pada 4 Agustus 2019.
Ketiga, black out terjadi di Sumatera pada 4 Juni 2024.
Beberapa hasil riset teknologi smart grid
Lebih jauh pria yang telah menghasilkan lebih dari 71 karya tulis ilmiah ini menyatakan riset yang dilakukannya merupakan bagian teknologi pendukung dari teknologi smart grid. Dia pun mengulas beberapa hasil riset teknologi kunci smart grid yang berperan dalam peningkatan kualitas sistem tenaga listrik modern.
Pertama, Riset Wide Area Monitoring dan kendali pada Smart Grid
Awal mula aplikasi phasor measurement unit (PMU) dilakukan oleh Virginia Tech dan Cornell University dengan memulai penelitian dalam mengembangkan aplikasi untuk pengukuran fasor. “Riset yang diajukan adalah mengoptimalkan data PMU untuk sistem kontrol umpan balik menggunakan pengukuran fasor,” katanya.
Teknologi filter discrete fourier transform (DFT), terang Cuk, digunakan untuk menghilangkan noise pada data. Setelah noise dieliminasi, maka data murni akan diekstraksi ulang dengan menggunakan inverse DFT (IDFT) ke komponen frekuensi tanpa noise pada data osilasi lokal maupun noise frekuensi tinggi. Dengan demikian, data yang sudah terfilter tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan mode osilasi dominan yang akan dimanfaatkan untuk identifikasi sistem.
“Dengan cara ini, kita dapat memodelkan sistem tanpa harus mengetahui data sistem yang kompleks dan pada umumnya parameter tersebut tidak dapat kita peroleh secara lengkap,” ucapnya Untuk menguji metode tersebut, sejumlah studi simulasi telah dilakukan pada sistem tenaga listrik dengan penetrasi energi terbarukan kapasitas tinggi. Riset ini menghasilkan 6 publikasi internasional. Riset tersebut telah memanfaatkan 2 teknologi sekaligus yaitu teknologi wide area monitoring dan teknologi robust control dengan memanfaatkan teknologi AI dan ML.
Kedua, riset Adaptif Robust Control pada Smart Grid
Menurut Cuk, penetrasi energi terbarukan yang besar dan tidak stabil menyebabkan penyimpangan frekuensi. “Jika sebagian besar beban dipasok oleh energi terbarukan jenis variable renewable energy, output daya generator konvensional akan berkurang signifikan,” ulas mantan karyawan Panasonic Batam ini. Hal ini menyebabkan pengurangan konstanta inersia total dan membuat kemampuan stabilitasi sistem tenaga listrik menjadi rendah.
Untuk mengatasi masalah ini, tambah Cuk, kontroler seperti power system stabilizer, penyimpanan energi, perangkat Flexible AC Transmission Systems (FACTS), harus dituning dengan benar. “Ketika variasi konstanta inersia total sangat besar, kita perlu menggunakan adaptive controller yang dapat menyesuaikan sistem tenaga listrik terhadap perubahan kondisi operasi. Sehingga perlu adanya riset terkait adaptive robust untuk memperbaiki teknologi kontrol adaptif konvensional,” papar Cuk.
Sejumlah studi simulasi telah dilakukan pada sistem tenaga listrik dengan penetrasi energi terbarukan yang tinggi, hasil simulasi menunjukkan bahwa metode yang diusulkan dapat diterapkan pada sistem tenaga listrik yang sangat ekstrim dengan perubahan parameter lebih dari 30% dan perubahan struktur sistem tenaga listrik yang dikarenakan kegagalan ekstrim atau terlepasnya sumber energi terbarukan yang besar pada sistem tenaga listrik. Riset ini menghasilkan lebih dari 26 publikasi internasional.
Menurut penuturan Cuk, riset ini memiliki memiliki keunggulan fitur sebagai berikut;
Pertama, operator sistem tenaga listrik tetap menggunakan struktur kontroler eksisting (Proportional – Integral – Derivative atau Lead/lag controller) dengan mempertimbangkan ketahanan dan adaptivitas. Penggunaan struktur kontroller eksisting akan mudah diimplementasikan oleh operator sistem tenaga listrik tanpa tambahan biaya. Dengan mempertimbangkan ketahanan, perubahan parameter kontroller dapat diminimalisir dan perubahan parameter dilakukan pada saat yang tepat saja.
Kedua, model hasil identifikasi dilengkapi dengan kontroler virtual. Kelebihan dari fitur ini adalah proses tuning parameter kontroller dapat dilakukan tanpa mengganggu kontroler riil yang sedang beroperasi. Kontroler virtual dioptimasi dari model matematika sistem sehingga lebih fleksibel dan biaya rendah.
Ketiga, sistem yang dikembangkan mampu menyimpan beberapa model dan parameter kontroler yang mewakili berbagai kondisi operasional sistem pada “Bank model identifikasi dan parameter controller”. Data ini akan digunakan kembali dalam situasi operasi sistem tenaga listrik yang sama tanpa melakukan identifikasi model dan tuning parameter controller lagi.
Keempat, jika terdapat lebih dari 1 (satu) kontroler, maka sistem dapat mengidentifikasi dan melakukan tuning parameter kontroller secara independen. Sehingga tidak memerlukan sistem komunikasi khusus yang dapat menekan biaya investasi.
Hasil riset smart grid yang ketiga, imbuh Cuk adalah riset dan Pengembangan Smart Demand. “Salah satu inisiatif utama dalam peta jalan pengembangan teknologi smart grid di Indonesia adalah membangun infrastruktur kendaraan listrik dan e-mobility untuk kendaraan listrik,” tandas pria yang memulai karir di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) pada 2006.
Secara global, penggunaan kendaraan listrik merupakan komponen kunci dalam upaya mencapai mobilitas perkotaan yang berkelanjutan mengalami pertumbuhan pesat. Kendaraan listrik dapat memainkan peran utama dalam menyediakan solusi hemat energi dan berkelanjutan untuk utilitas, kota, dan negara.
Ketersediaan stasiun pengisian daya merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik. Sejak tahun 2016 sampai saat ini, sedang dilakukan pengembangan komponen utama transportasi listrik yaitu motor propulsi pada sepeda motor listrik, traktor listrik, perahu listrik dan kapal.
Cikal-bakal
Cikal bakal teknologi smart grid di Indonesia dimulai pada tahun 2014 dengan penerapan teknologi komunikasi dua arah menggunakan SMS untuk BTS dan Adv. Billboard di Jakarta. Sebelumnya Indonesia masih menerapkan sistem tenaga listrik konvensional. Pada jaringan listrik tradisional memiliki beberapa kelemahan, salah satunya terkait dengan keandalan (realiability).
Rendahnya keandalan suatu jaringan listrik ditandai dengan tingginya frekuensi terjadinya pemadaman listrik. Pemadaman listrik ini tentunya sangat merugikan baik bagi pihak penyedia listrik maupun konsumen. Seringnya pemadaman listrik berkaitan erat dengan sifat dari jaringan listrik tradisional, yaitu masih belum teraplikasikannya teknologi otomasi dan informasi, sehingga sulit mendeteksi tanda-tanda terjadinya kegagalan pada jaringan listrik. Selain keandalan, efisiensi dari proses transmisi dan distribusi listrik pada jaringan tradisional juga masih menjadi masalah.
Aspek-aspek yang menjadi kekurangan jaringan listrik tradisional melahirkan urgensi dalam pengembangan jaringan listrik yang lebih baik. Salah satu konsep jaringan listrik yang telah dimodernisasi adalah konsep jaringan listrik pintar atau smart grid yang mengintegrasikan teknologi otomasi, teknologi informasi dan telekomunikasi yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara produsen dan konsumen listrik. Penggunaan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan, pengendalian dan komunikasi dalam rantai pasok listrik sehingga efisiensi listrik dapat ditingkatkan dan keandalan jaringan listrik dapat lebih baik.
Tantangan
Sektor energi ditargetkan berkontribusi sebesar 15,5 persen terhadap target net zero emission tahun 2060 sehingga pemanfaatan energi terbarukan menjadi suatu keharusan dengan segala tantanganya. Cuk berharap hasil riset teknologi smart grid dapat menjadi solusi terhadap permasalahan fluktuasi, ketahanan, keandalan, efisiensi, dan produktivitas jaringan.
“Tantangan kedepan pengembangan smart grid adalah untuk menjawab isu-isu terkait transisi energi yaitu decarbonization, digitalization, decentralization, dan deregulation, sekaligus mejawab tantangan penyediaan tenaga listrik di Indonesia yang memperhatikan aspek efficiency/losses, reliability, resiliency dan sustainability,” ungkap Cuk.
Dia juga berharap pembangunan smart grid bisa melibatkan semua stakeholder. “Ada sinergi antara pembuat kebijakan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, swasta, pemilik teknologi, perbankan, dan akademisi untuk mengintegrasikan teknologi smart grid dengan kurikulum pendidikan guna mendukung riset,” harapnya. Sehingga smart grid dapat berkontribusi dalam mendukung program pemerintah mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Apresiasi Dirjen Gatrik dan Guru Besar ITS
Hasil riset Prof Cuk Supriyadi mendapat apresiasi dari Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Gatrik) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jisman Hutajulu. Menurutnya pengembangan smart grid sangat berguna untuk memaksimalkan dan mengintegrasikan berbagai potensi sumber energi terbarukan, teknologi penyimpanan energi (battery storage) dengan tujuan agar dapat meningkatkan efisiensi, keandalan, dan keberlanjutan sistem energi.
“Pengembangan smart grid saat ini sangatlah diperlukan agar kedepannya masyarakat dapat berpartisipasi aktif secara langsung secara mandiri untuk menyediakan kebutuhan energi secara mandiri dengan memanfaatkan potensi yang ada. Contohnya adalah pemasangan PV Rooftoop pada atap-atap rumah tinggal,” kata Jisman pada Portonews, Rabu (17/7/2024). Pemerintah berharap agar berkembangnya pemasangan PV Rooftop pada sistem distribusi juga harus diikuti dengan perkembangan kemampuan grid dari PLN lebih fleksibel dan modern agar dapat mengatasi karakteristik PV yang bersifat intermittent.
Disisi lain, lanjut Jisman implementasi smart grid ini kedepannya diharapkan mampu memaksimalkan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) pada sistem tenaga listrik untuk membantu mengurangi emisi karbon. Sebagai contoh pengembangan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang bersumber dari listrik EBT akan menciptakan permintaan atau demand baru serta pengurangan emisi sektor dan konsumsi BBM sektor transportasi.
Saat ditanya apa bentuk support dari Ditjen terhadap pengembangan smart grid agar dapat melibatkan semua stakeholder dan sinergi antara pembuat kebijakan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, pemilik teknologi, perbankan dan akademisi untuk mengintegrasikan teknologi smart grid dengan kurikulum pendidikan guna mendukung riset, Jisman menjawab, “Kementerian ESDM mendukung pengembangan smart grid dan terus mendorong kolaborasi yang erat antar pemangku kepentingan”. Wujud dukungannya antara lain: pihaknya kemennterian menyediakan regulasi dan kebijakan yang mendukung pengembangan smart grid. Selain itu, katanya,
pemanfaatan smart grid telah masuk dalam matrik proyek pembangunan sub sektor ketenagalistrikan sesuai PERPRES 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Rencana pemanfaatan smart grid juga telah masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) tahun 2019-2028.
Pihak kementerian, tambah Jisman, juga memfasilitasi kerjasama dalam penerapan smart grid di Indonesia serta mendorong bahan usaha menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pengembangan smart grid di Indonesia.
Tanggapan lain juga datang dari Mukhtasor, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Menurutnya, persoalan utama di Indonesia bukan soal teknologi tetapi upaya penguasaan teknologi atau kemapuan menyiapkan industrinya. “Itu semua PR kita tetapi ada PR yang lebih utama, yaitu abainya kita pada persoalan geopolitik dan geostrategi. Termasuk di bidang energi,” kata Mukhtasor pada Portonews, Kamis (18/7/2024).
“Pak Habibie dan seluruh tim besar industri strategis pada zamannya sudah membuktikan. Misalnya, pesawat terbang bisa dibuat oleh anak bangsa, tapi kemudian karena geopolitik dan geostrategi harus di-grounded dan dimasukkan museum.
Lalu kita terpaksa membeli atau hutang untuk kebutuhan pesawat dalam negeri,” paparnya. Hal sama juga terjadi pada smart grid. “Secara teknis smart grid pun ada peluang untuk solusi, namun kalau salah kelola, menjadi lubang masalah,” tandas Mukhtasor.