Jakarta, Portonews.com – Dalam sebuah seminar yang diadakan di Kampus BRIN, Jakarta, para peneliti dan akademisi berkumpul untuk membahas pentingnya rempah-rempah, yang sering disebut sebagai “emas hitam” karena nilai perdagangan dan keuntungannya yang tinggi. Kepala OR IPSH BRIN, Ahmad Najib Burhani, menekankan perlunya memperhatikan jalur rempah dan kemaritiman Indonesia. “Kegiatan ini sebagai peristiwa yang tepat waktu dan penting untuk mengingatkan pemerintah akan pentingnya masalah maritim dan jalur rempah-rempah di Indonesia, baik secara etnis, agama, dan budaya. Kita tidak tahu kapan rempah-rempah menjadi komoditas yang diminati dunia,” ungkap Najib saat membuka A.B. Lapian Memorial Lecture pada Senin (23/09).
Najib merujuk pada buku “The Overseas Chinese of South East Asia: History, Culture, Business” oleh Ian Rae dan Morgen Witzel, yang menjelaskan bahwa rempah-rempah nusantara telah dikenal sejak zaman dinasti Tiongkok dan Mesir kuno. Melalui riset ini, BRIN berencana memperkuat kolaborasi dengan merilis publikasi tentang Spice Routes yang diharapkan dapat bertahan lama.
Dedi Supriadi, peneliti di PRMB BRIN, memaparkan riset tentang pengelolaan pesisir tradisional di Maluku dan Papua. Ia menyoroti praktik Sasi, penutupan musiman tradisional, yang diterapkan pada sumber daya perairan lokal. “Kami berinisiatif agar pemerintah di seluruh dunia menetapkan 30% daratan dan lautan di bumi sebagai kawasan lindung pada 2030,” harap Dedi, merujuk pada target global yang belum tercapai.
Dedi mencatat bahwa saat ini, Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia hanya memenuhi target nasional sebesar 10%, dan tidak ada satupun lokasi yang dikelola secara berkelanjutan. Keterbatasan pendanaan menjadi salah satu kendala utama dalam pengelolaan KKL. “Kami merekomendasikan agar target keanekaragaman hayati nasional dirancang dengan lebih fokus pada pengembangan dan pengawasan pengelolaan KKP,” tambahnya.
Dalam forum yang sama, James Fox dari Australian National University mengangkat tema migrasi maritim Austronesia. Ia menjelaskan, “Di sini terjadi banyak kontak pada hampir semua tempat, di semua pulau, terutama wanita. Maka terjadilah percampuran populasi, dan dengan populasi yang tersisa, terdapat sebuah budaya. Hal ini tentang bagaimana kita memikirkan kembali dan bagaimana kita harus melakukannya.”
Kegiatan ini merupakan bagian dari International Forum on Spice Routes (IFSR) 2024 yang diselenggarakan pada Selasa (24/9) dengan tema penjelajahan ekspresi adaptasi manusia. Profesor Sundari dari Universitas Khairun Ternate membuka sesi ini dengan menggarisbawahi pentingnya budaya dan makanan dalam menghubungkan manusia. “Ini menunjukkan, sebagai manusia, kita tidak hanya terhubung oleh budaya, tetapi juga terhubung oleh apa yang kita makan sehari-hari dan konsumsi,” ujarnya.
Dalam sesi selanjutnya, Atul Gokhale dari India menjelaskan peran rempah-rempah dalam masakan dan budaya, menyatakan bahwa akar rempah-rempah telah menjadi jembatan antara Timur dan Barat. “Melalui perdagangan, migrasi, dan penjelajahan, rempah-rempah menghubungkan orang, budaya, dan cita rasa,” ungkapnya.
Anjali Bhoite, juga dari India, menambahkan bahwa keberagaman makanan di India melambangkan persatuan. “Makanan berfungsi sebagai wahana nostalgia yang kuat, membangkitkan kenangan akan perayaan kumpul keluarga,” katanya.
Seminar ini diharapkan menjadi platform untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian budaya, serta memperkuat jaringan internasional terkait rempah-rempah.