Banyumas, Portonews.com – Bahasa adalah bagian tak terpisahkan dari identitas suatu masyarakat. Di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Banyumas dan sekitarnya, ada sebuah dialek khas yang menjadi kebanggaan masyarakatnya yaitu Bahasa Jawa Banyumasan. Bahasa ini bukan hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga menyimpan sejarah panjang dan kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Namun, di tengah arus globalisasi yang semakin deras, Bahasa Jawa Banyumasan menghadapi tantangan besar dalam upaya pelestariannya. Masyarakat muda lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa standar yang lebih banyak digunakan di media massa. Terlebih lagi, dialek Banyumasan dianggap sebagai bahasa yang lebih sederhana dan “kasar”, meskipun sebenarnya memiliki kekayaan tersendiri yang patut dihargai.
Bahasa Jawa Banyumasan atau sering disebut bahasa Ngapak digunakan oleh masyarakat yang berasal dari wilayah Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara, dan Kebumen. Bahasa ini memiliki karakteristik yang mudah dikenali karena intonasinya yang lebih ringan dan luwes, serta kosa kata yang berbeda dengan dialek Jawa lainnya. Meski lebih banyak digunakan di lingkungan sehari-hari, Bahasa Banyumasan juga banyak ditemukan dalam seni tradisional, seperti ketoprak, wayang kulit, dan tembang-tembang Banyumasan.
Bahasa ini memiliki sejarah yang panjang dan berakar kuat dalam peradaban Jawa. Dalam sejarahnya, bahasa ini diyakini merupakan salah satu varian paling tua dari bahasa Jawa yang berkembang di wilayah selatan Pulau Jawa. Menurut beberapa penelitian linguistik, bahasa ini berasal dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, yang kemudian bertransformasi melalui berbagai pengaruh budaya dan agama.
Pada masa kerajaan Majapahit, yang merupakan salah satu kerajaan terbesar di Indonesia pada abad ke-13 hingga 15, bahasa yang digunakan di wilayah Jawa Tengah merupakan bahasa Jawa Kuno. Seiring berjalannya waktu, bahasa ini berkembang menjadi berbagai dialek di berbagai wilayah, salah satunya adalah Bahasa Banyumasan.
Bahasa Banyumasan dipengaruhi oleh keberagaman budaya yang ada di daerah tersebut, termasuk pengaruh dari budaya Sunda, yang dapat dilihat dalam beberapa kosakata dan ekspresi yang unik. Selain itu, pengaruh kolonialisme Belanda juga turut membentuk struktur bahasa ini, meski tidak sebanyak di daerah lain. Namun, meskipun banyak pengaruh, bahasa ini tetap mempertahankan kekhasan lokal yang sulit ditemukan di tempat lain.
Salah satu hal yang membedakan Bahasa Banyumasan dari dialek Jawa lainnya adalah cara pengucapannya yang lebih sederhana dan santai. Intonasinya yang khas menjadikan bahasa ini terdengar lebih luwes, tidak terlalu formal, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam percakapan, Bahasa Banyumasan sering menggunakan kosakata yang lebih praktis dan langsung, seperti “mblok” (sibuk), “golek” (mencari), atau “kresek” (berisik). Meski terkesan sederhana, bahasa ini kaya akan ekspresi dan emosi yang tidak kalah dalam kedalamannya.
Bahasa ini juga membawa serta kearifan lokal yang menjadi landasan hidup masyarakat Banyumas. Nilai-nilai gotong royong, kesederhanaan, dan rasa saling menghargai tercermin dalam percakapan sehari-hari yang menggunakan bahasa ini. Bahkan dalam seni pertunjukan seperti ketoprak atau wayang kulit, bahasa Banyumasan menjadi sarana untuk menyampaikan pesan moral yang menggugah hati.
Seiring dengan kemajuan zaman, Bahasa Banyumasan mulai terancam oleh pengaruh globalisasi dan pergeseran bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, ditambah dengan dominasi bahasa asing dalam dunia digital dan media sosial, menyebabkan generasi muda mulai jarang menggunakan Bahasa Banyumasan.
Pendidikan formal yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa standar juga menjadi salah satu faktor yang mengurangi pemahaman dan keterampilan berbicara dalam bahasa Banyumasan. Padahal, bahasa ini tidak hanya sekedar alat komunikasi, tetapi juga bagian dari warisan budaya yang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Banyumas.
Meski menghadapi tantangan, berbagai upaya untuk melestarikan bahasa Jawa Banyumasan sudah mulai dilakukan. Di sekolah-sekolah di Banyumas dan sekitarnya, pengenalan bahasa Banyumasan mulai diterapkan dalam kurikulum. Beberapa sekolah juga mengadakan lomba berbicara dalam bahasa Banyumasan untuk menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan terhadap bahasa daerah.
Komunitas budaya setempat juga berperan aktif dengan menyelenggarakan berbagai acara seni yang melibatkan bahasa Banyumasan, seperti pertunjukan wayang kulit, ketoprak, dan tembang-tembang Banyumasan. Bahkan di era digital, banyak anak muda yang mulai mengangkat bahasa Banyumasan di platform media sosial, dengan membuat video lucu atau konten kreatif berbahasa Banyumasan untuk menarik perhatian audiens muda.
Pelestarian Bahasa Banyumasan bukan hanya soal mempertahankan sebuah dialek, tetapi juga tentang melestarikan identitas budaya dan sejarah masyarakat Banyumas. Bahasa ini adalah saksi bisu perjalanan panjang masyarakat yang telah melewati berbagai perubahan zaman. Kehilangan bahasa Banyumasan berarti kehilangan bagian dari sejarah dan budaya yang telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit.
Bahasa ini juga membawa filosofi hidup yang bisa menjadi pedoman dalam kehidupan modern, seperti pentingnya kebersamaan, rasa hormat, dan kerendahan hati. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menjaga dan melestarikan bahasa Banyumasan, tidak hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk generasi mendatang yang berhak memahami akar budaya mereka.
Bukan hanya sebuah dialek Bahasa Jawa Banyumasan merupakan bagian dari warisan budaya yang penuh dengan sejarah, nilai, dan kearifan lokal. Sebagai bahasa yang merupakan salah satu varian tertua dari bahasa Jawa, bahasa ini patut untuk dilestarikan agar tidak terlupakan. Mari bersama-sama menjaga dan merawat Bahasa Banyumasan agar tetap hidup, berkembang, dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Banyumas dan Indonesia pada umumnya.
Sumber : Berbagai sumber