Jakarta, Portonews.com-Fenomena new museology (nouvelles museologie) yang hadir sejam 50 tahun lalu di Inggris dan Perancis membuat dunia permuseuman merebak. Hingga meluas ke Indonesia sejak dekade 1990an.
Era ini menandai munculnya pemahaman baru tentang museum bukan lagi sekadar tempat pelestarian koleksi, tetapi menjadi ruang budaya tempat masyarakat menyampaikan ekspresi seni, membangun identitas budaya, ataupun menjalankan kegiatan sosial. Dan semakin kuat pula hubungan antara museum dengan pendidikan.
Museum adalah lembaga pendidikan informal, pernyataan ini sudah diterima oleh semua kalangan. Namun, pendidikan seperti apa yang dapat dijalankan di museum? Salah satunya mungkin adalah pengembangan kreativitas.
Pengembangan kreativitas (creative/creativity development) seringkali dimaknai sebagai rangkaian program atau kegiatan edukasi berbasis olah-rasa, yang ditujukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kapasitas kreatif kaum muda.
Lazimnya berupa aneka kegiatan seni, misalnya musik, sastra, tari, lukis, dan lain-lain atau juga kegiatan kriya, misal, membuat layang-layang, kertas lipat, tembikar, dan sebagainya. Dalam perkembangannya kemudian, program pengembangan kreativitas banyak juga yang ditujukan untuk kalangan dewasa, bahkan lansia.
“Museum harus mengikuti perkembangan zaman, sehingga ia masih relevan. Kuncinya relevansi dan investasi. Ada museum yang koleksinya terbatas tapi narasinya kuat sekali. Kemudian, misi menjalankan museum salah satunya ada di edukasinya. Bisa dengan cara konvensional dan kreatif, ” kata Hilmar Farid, dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ), dalam acara Bincang Musea: Creative Development di Museum, yang diikuti PORTONEWS, bertempat di Toeti Heraty Museum – Galeri Cemara 6 Jakarta, Selasa, (17/12/2024).
Di sisi lain, menurut Hilmar, museum akan ditinggal kalau tidak relevan dengan kehidupan kreativitas yang muncul dari museum. Mereka ke museum karena dampak, ada sesuatu di sosial media.
Hal tersebut turut direspon oleh Director Indonesia Young Museum Professional (IYMP) Karina Mintahir.
“Museum harus mempunyai multidemensional. Harus mempunyai pengembangan secara holostik. Kalau brand imagenya tidak bagus, orang tidak mau datang ke museum.
Saya sering ngobrol sama teman-teman, mereka bilang museum membosankan. Sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah trigger untuk mereka mau datang, salah satunya menggunakan sosial media. Lalu, meningkatkan keterlibatan terhadap masyarakat untuk membuat ruang berkreasi,” ungkap Karina.
Sementara, pematung dan seniman Dolorosa Sinaga mengakui, anak muda harus didisiplinkan untuk mau pergi ke museum.
“Kita harus memberikan akses yang didalamnya memiliki daya kreatif, keindahan, nilai sejarah. Ada substansi untuk mereka melihat tentang hidup, ” jelas Dolorosa.
Museum yang secara substansial berfungsi menyimpan, mengkaji, dan menyampaikan informasi tentang sejarah kebudayaan manusia memang sesuai untuk kegiatan creative development.
Sebagai lembaga lintas waktu, museum mejadi jembatan budaya antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Masa lalu ada pada koleksi museum, sedangkan masa kini terdapat pada program publik di museum. Kemudian, masa depan terbentang di hadapan.
Kegiatan Bincang Musea ini diselenggarakan oleh Museum Layang-layang Indonesia, bekerja-sama dengan Musea Indonesia: education & creative development. Kegiatan ini juga didukung oleh Yayasan Toeti Heraty Rooseno dan Toeti Heraty Museum.
Kegiatan ini turut dikelola oleh komunitas PAS Rekadaya bersama Musea Indonesia, serta berkolaborasi dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Daerah Jakarta Paramita Jaya, merupakan bagian dari rangkaian program kolaborasi yang dilaksanakan Yayasan Layang-layang Indonesia pada tahun 2024, dalam kerangka program Dukungan Institusional dari Dana Indonesiana, yang dijalankan oleh Kementerian Kebudayaan dan LPDP Kementerian Keuangan.
Penyelenggaraan program publik dan program kolaborasi tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu landasan utama untuk keberlanjutan museum.