Jakarta, Portonews.com – Kantor Penelitian Makroekonomi ASEAN+3 atau ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengatakan kawasan ASEAN+3 perlu mewaspadai risiko peningkatan inflasi, ketegangan geopolitik, hingga perlambatan pertumbuhan global.
“Dalam waktu dekat, ekonomi ASEAN+3 harus tetap waspada terhadap risiko meningkatnya inflasi, meningkatnya ketegangan geopolitik, dan perlambatan pertumbuhan global,” kata Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor dalam konferensi pers virtual peluncuran Laporan Stabilitas Keuangan ASEAN+3 (ASEAN+3 Financial Stability Report/AFSR) 2024 di Jakarta, Kamis (10/10).
Hoe menuturkan secara keseluruhan risiko terhadap stabilitas keuangan di seluruh ASEAN+3 pada 2024 tampak lebih rendah daripada pada 2023.
Iklim pertumbuhan dan disinflasi yang kuat saat ini menghadirkan peluang bagi pembuat kebijakan regional untuk mengurangi utang, membangun kembali ruang kebijakan, dan memperkuat kapasitas fiskal untuk mengelola potensi guncangan dengan lebih baik.
“Mengisi kembali cadangan devisa selama masa arus masuk modal dapat lebih meningkatkan kepercayaan pasar dan memberikan penyangga terhadap volatilitas pasar yang ekstrem,” ujar Hoe.
Ia mengatakan pemantauan berkelanjutan terhadap spillover internasional sangat penting, di samping meningkatkan pengawasan dan kerja sama makroekonomi dan keuangan regional.
Langkah-langkah penting termasuk memperkuat pengawasan lintas batas dan berbagi data, melakukan uji ketahanan (stress test) kawasan, meningkatkan pengawasan masing-masing negara, serta memperkuat jaring pengaman keuangan regional.
Paruh pertama tahun 2024 mengalami pelonggaran dalam kondisi keuangan global karena bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve AS (Fed) mulai mengakhiri siklus kenaikan suku bunga kebijakannya.
Pergerakan pasar terutama dipengaruhi oleh ekspektasi seputar tindakan Fed. Namun, pada kuartal III-2024, ketidakpastian tentang prospek pertumbuhan AS, diperparah dengan berakhirnya perdagangan carry yen (yen carry trades), memicu volatilitas pasar yang signifikan.
Fed memulai pelonggaran moneternya pada September, yang telah menyebabkan pelonggaran kondisi moneter, tetapi ketidakpastian seputar inflasi dan prospek pertumbuhan masih ada. Selain itu, situasi geopolitik di Timur Tengah tetap rapuh dan hasil pemilihan presiden AS yang akan datang tetap menjadi sumber utama ketidakpastian bagi pasar keuangan.
Berdasarkan laporan AFSR 2024, ASEAN+3 tetap rentan terhadap guncangan makro-keuangan dari ekonomi maju utama dan faktor eksternal lainnya, sementara interkonektivitas yang berkembang di sistem keuangan ASEAN+3 menekankan perlunya mengambil pandangan makroekonomi dan keuangan holistik terhadap wilayah tersebut untuk melindungi kawasan dari risiko sistemik.
Penurunan pasar real estat yang dipicu oleh pandemi COVID-19 dan inflasi yang tinggi telah menimbulkan kekhawatiran tambahan, karena permintaan yang melemah dan kondisi keuangan yang lebih ketat di beberapa negara telah berdampak parah pada kesehatan keuangan pengembang properti, yang menyebabkan penurunan profitabilitas, likuiditas, dan kapasitas pembayaran utang.
Penyangga modal yang kuat di sektor perbankan tampaknya telah mengurangi risiko spillover dari pasar properti, tetapi ancaman yang kurang terlihat dari bank-bank lokal yang lebih kecil dan aktivitas perbankan bayangan yang terkait dengan sektor properti mengintai, sehingga membutuhkan pemantauan ketat dan mungkin memerlukan intervensi peraturan.
Langkah-langkah untuk menstabilkan sektor properti harus diterapkan untuk mencegah perusahaan yang sehat secara fundamental gagal bayar karena kondisi pengetatan kredit akibat pasar yang memburuk, sambil meningkatkan kesehatan lembaga keuangan dengan eksposur yang signifikan, terutama bank-bank yang lebih kecil dan lembaga keuangan nonbank.
“Untuk mengatasi risiko dan tantangan jangka pendek hingga jangka panjang terhadap stabilitas keuangan ASEAN+3, kawasan ini harus bersatu sebagai satu kesatuan dan berjuang untuk ketahanan dan stabilitas,” tutur Hoe.
Menurutnya dalam jangka panjang, para otoritas di ASEAN+3 harus bekerja sama untuk mengurangi ketergantungan struktural pada dolar AS dan mempromosikan penggunaan mata uang lokal di kawasan.
“Mengurangi ketergantungan struktural pada dolar AS dalam jangka menengah hingga panjang dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal dan mengembangkan sistem pembayaran lintas mata uang, harus menjadi prioritas utama,” katanya.
Hoe mengatakan, ketergantungan yang berlebihan pada dolar AS membuat ekonomi ASEAN+3 lebih rentan terhadap spillover dari perkembangan keuangan makro global, dan khususnya Amerika Serikat.
Ketergantungan ASEAN+3 yang besar pada dolar AS untuk kegiatan keuangan lintas batas menimbulkan dua risiko besar, yakni potensi kekurangan pendanaan dolar AS, yang dapat mengganggu stabilitas pasar keuangan dan perantara keuangan, dan transmisi guncangan global melalui dolar AS, terutama selama periode pengetatan moneter atau ketegangan geopolitik.
Untuk memperkuat ketahanan terhadap guncangan eksternal dalam lingkungan yang bergantung pada dolar AS, ASEAN+3 harus memperkuat fundamental ekonomi dan keuangan, meningkatkan kerangka pengawasan untuk memantau likuiditas dolar AS, memperkuat langkah-langkah makroprudensial untuk bank dan lembaga keuangan non bank, dan memberikan dukungan pembiayaan kepada negara-negara anggota yang mengalami tekanan likuiditas dolar AS.
Seperti di belahan dunia lainnya, dolar AS memainkan peran penting dalam sistem keuangan ASEAN+3 sebagai “mata uang kendaraan” atau mata uang yang banyak digunakan untuk perdagangan internasional dan transaksi keuangan, untuk penagihan dan pembayaran perdagangan, dan mata uang pilihan untuk investasi dan pinjaman keuangan lintas batas.
Peralihan dari penggunaan dolar AS ke mata uang lokal di ASEAN+3 dapat dicapai secara bertahap dengan meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi komersial lintas batas.
Namun, adopsi mata uang lokal secara luas perlu mengatasi berbagai masalah antara lain terkait dengan biaya, kemudahan, kecepatan, akses, dan transparansi. – ANTARA