Jakarta, Portonews.com – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyarankan pemerintah untuk fokus pada kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat, menyusul rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal tahun depan.
“Pemerintah seharusnya mendorong kebijakan yang memperkuat daya beli masyarakat, bukan justru menekannya,” ujar Huda saat diwawancarai di Jakarta, Jumat (15/11).
Menurut Huda, kenaikan PPN pada saat daya beli masyarakat masih dalam tahap pemulihan adalah langkah yang kurang tepat. Penerapan tarif PPN 12 persen dikhawatirkan akan mengurangi pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan (disposable income), sehingga berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
“Jika daya beli tergerus, dampaknya akan berantai. Risiko terburuknya adalah peningkatan pengangguran dan menurunnya kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Huda juga mengakui bahwa beberapa negara anggota OECD memiliki tarif PPN yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Namun, ia mengingatkan bahwa ada pula negara-negara dengan tarif PPN lebih rendah, seperti Kanada yang hanya menetapkan tarif 5 persen.
“Pemerintah tidak perlu selalu membandingkan dengan negara yang tarif PPN-nya lebih tinggi. Ada banyak contoh negara yang justru menetapkan tarif lebih rendah,” imbuhnya.
Huda menyoroti potensi dampak buruk dari kenaikan PPN terhadap konsumsi rumah tangga. Menurutnya, kebijakan ini dapat meningkatkan kerentanan ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah, dan menghambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
“Saya berharap pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan ini. Lebih baik memberikan insentif atau subsidi konsumsi kepada kelas menengah untuk menjaga stabilitas ekonomi,” katanya.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen akan tetap diberlakukan mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat Undang-Undang. Kebijakan ini diperlukan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus mempersiapkan kemampuan fiskal dalam menghadapi potensi krisis.
“Ini sudah diamanatkan oleh UU. Kami akan memastikan implementasinya dilakukan secara hati-hati, dengan memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat,” tutur Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan menyatakan bahwa langkah ini juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan fiskal, meski diakui bahwa dampaknya terhadap konsumsi masyarakat perlu dikelola secara cermat.
Namun, di tengah kekhawatiran berbagai pihak, Huda menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah seharusnya adalah mendukung daya beli masyarakat agar pemulihan ekonomi dapat berjalan lebih optimal. – (ANTARA)