Jakarta, Portonews.com – Bali International Airshow 2024, yang berlangsung dari 18 hingga 21 September di Bandara Internasional Ngurah Rai, menjadi sorotan penting dalam perjalanan Indonesia untuk menjadi pusat inovasi kedirgantaraan dan teknologi pertahanan. Pertunjukan udara ini menandai langkah strategis bagi Indonesia di sektor kedirgantaraan global, didukung oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Airbus, Boeing, dan Bell Helicopters.
Penerbangan Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dengan proyeksi pertumbuhan tahunan sebesar 5 persen dalam armada pesawat selama lima tahun ke depan. Menariknya, Indonesia diperkirakan akan menjadi pasar penerbangan terbesar keempat pada tahun 2037. Selain itu, ada upaya pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF) yang digagas oleh Petronas.
Namun, di tengah kemeriahan acara tersebut, Bali juga menghadapi tantangan dalam pengurangan emisi. Kegiatan berkapasitas tinggi sering menghasilkan emisi karbon dioksida, yang menjadi sorotan dalam acara Bali Beraksi untuk Iklim. Dalam diskusi yang berlangsung di Sanur, pertanyaan mengenai apa itu emisi dan cara menurunkannya menjadi fokus utama.
Alfina Febrilia dari Griya Luhu menekankan pentingnya pengelolaan sampah untuk mengurangi emisi. Ia menyatakan karbondioksida itu nggak selalu negatif. Tapi kenapa sampah sekarang selalu dikaitkan dengan emisi karbondioksida, karena kebanyakan masyarakat Indonesia membakar sampah yang menghasilkan karbondioksida, seperti dilansir dari laman mongabay.
Inisiatif pengelolaan sampah yang digagas Griya Luhu telah berjalan lebih dari lima tahun, berupaya mengedukasi masyarakat untuk memilah dan mengelola sampah secara mandiri. Di sisi lain, teknologi hijau juga menjadi sorotan dengan diperkenalkannya Desa Hidrogen Hijau, yang memanfaatkan teknologi elektrolisis untuk menghasilkan hidrogen dan oksigen dari air laut.
Tafia Sabila dari Fablab Bali menjelaskan, “Tantangan kami saat ini adalah bagaimana membangun narasi dan memperkenalkan konsep, serta teknologi hidrogen hijau.” Sementara itu, Prawita Tasya Karissa dari Biorock Indonesia mengajak masyarakat untuk menjaga terumbu karang dengan teknologi yang memanfaatkan listrik untuk mempercepat pertumbuhannya.
Sofwan Hakim dari Sekretariat Koalisi Bali Emisi Nol Bersih menekankan bahwa banyak inisiatif lokal tidak mendapat dukungan yang memadai. “Bali Beraksi untuk Iklim berusaha hadir sebagai sebuah platform strategis untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut,” ujarnya.
Melihat skenario penurunan emisi, jika tidak ada intervensi, Bali dapat menghadapi 10 juta ton emisi karbondioksida pada 2045. Dengan langkah ambisius, angka ini dapat turun menjadi 2 juta ton. Pemerintah Bali pun telah meluncurkan sejumlah regulasi, termasuk peraturan tentang kendaraan berbasis baterai, yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam penggunaan kendaraan listrik.
Namun, untuk mendorong kesadaran masyarakat, dibutuhkan infrastruktur yang memadai. Dalam kegiatan Kolaborasi Bali untuk Iklim, poster-poster yang menyampaikan keluhan terkait infrastruktur transportasi menunjukkan betapa pentingnya perbaikan di sektor ini.
Dengan berbagai inisiatif dan dukungan, Bali berambisi untuk mencapai target nol emisi pada 2045, jauh lebih cepat dari target nasional 2060. Upaya ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara komunitas, pemerintah, dan sektor swasta sangat penting dalam mewujudkan masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.