Sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan ormas keagamaan mengelola industri tambang, di media sosial disuguhi info berbeda. Muhammadiyah akan mengkaji secara seksama apakah menerima atau menolak, PBNU menerima bahkan menurut berita PBNU sudah mengurus ijin.
Duh Gusti. Tadinya saya tahan untuk tidak merespon isu ini. Saya belajar untuk menahan diri mengomentari kebijakan PBNU. Paling banter Saya hanya rasan-rasanan dengan teman pengurus Cabang, MWC, atau Ranting. Kali ini saya gagal menahan diri. Saya perlu bersuara. Soal apakah suara saya didengar atau tidak, itu soal lain. Setidaknya posisi saya jelas, saya tidak nyaman dengan sikap dan keinginan PBNU untuk mengelola tambang.
Data dan bukti bahwa industri ekstraktif atau pertambangan memiliki daya rusak tinggi tak bisa dibantah. Mulai sejak kerusakan lingkungan alam, eskalasi konflik sosial yang menyertainya, makin sempitnya ruang hidup para petani, nelayan, dan masyarakat adat hingga tekanan aparat keamanan terhadap rakyat yang mencoba mempertahankan ruang hidupnya menjadi berita setiap hari.
Saya sedih sekali ketika melihat masyarakat Wadas beberapa tahun lalu, untuk sekedar memberi contoh, menghadapi aparat keamanan yang merangsek ke desa mereka. Warga desa yang umumnya Nahdliyyin menangis, menjerit, ketakutan, tapi juga tak mau kehilangan ruang hidupnya. Lalu dimana posisi PBNU kala itu?
Belum lagi warga Nahdliyyin atau rakyat kecil di belahan Nusantara ini, nasibnya gak jelas akibat industri pertambangan ini. Nyaris setiap hari ada berita konflik sosial antara warga yang mempertahankan ruang hidupnya dengan korporasi yang diback up negara. Apakah fakta ini kita anggap sebagai sesuatu yang wajar saja?
Terus terang, sebelumnya saya sangat senang sekali membaca keputusan Bahsul Masail yang banyak membahas soal lingkungan dan kerusakan alam akibat industri atau alih fungsi lahan untuk industri . Hasil Bahsul Masail sangat tegas soal ini.
Dalam Muktamar NU di Lampung pada tahun 2021 yang berhasil mengantarkan Gus Yahya sebagai ketua PBNU, salah satu rekomendasi Muktamar juga berkaitan dengan lingkungan. Poin-poinnya sebagai berikut:
1/mendesak pemerintah harus tegas dalam pengurangan pembabatan jumlah dan luas hutan.
2/Pemerintah perlu fokus dan sercara serius mengambil langkah-angkah mengurangi deforestasi menjadi nol hektar pada tahun 2023
3/Proporsi Energi Baru Terbarukan (EBT) minimal 30 persen pada 2025, serta net zero emisi (emisi nol bersih) pada 2045.
4/Mendesak pemerintah untuk menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga UAP (PLTU) Batubara dan pengurangan produksi batubara mulai 2022, serta menyetop (early retirement/phase out) PLTU Batubara pada 2040 untuk mempercepat proses transisi energi yang berkeadilan, demokratis, dan terjangkau
Respon NU terhadap isu lingkungan setidaknya menjadi penegas bahwa NU tidak abai terhadap persoalan ini. Bagaimana pun organisasi sebesar NU seharusnya memang menjadi ormas terdepan dalam menyikapi isu lingkungan, bukan saja karena kewajiban agama memelihara bumi sebagai wujud dari tanggung jawab sebagai Khalifah fil ardhi, tapi dampak dari kerusakan lingkungan berhubungan langsung dengan warga Nahdliyyin dan rakyat kecil di akar rumput.
Ahmad Nasikh Lutfi, Bosman Batubara, dan saya menulis “Ukhuwah Kauniyah, dan Sosio Alam: Menuju Pluralitas Epistemologi di Era Capitalosen” dalam buku “Bunga Rampai Fikih Peradaban dan Isu-isu Global”. Poin tulisan tersebut sebagai berikut:
1/Perlu memasukkan ukhuwah Kauniyah dalam trilogi ukhuwah; Ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah Wathaniyah, Ukhuwah Basyariah, dan satu lagi Ukhuwah Kauniyah (persaudaraan kosmik)
2/Ukhuwah Kauniyah (Persaudaraan Kosmik) mengandaikan adanya saling ketergantungan antara manusia dan makhluk non-manusia. Dalam Al-Qur’an alam dan segenap makhluk bertasbih kepada Allah (QS. an-Nur (24: 41), alam adalah tajalli atau pengejawantahan Allah (QS. al-A’raf (7) 143). Dalam konteks ayat ini menjadi jelas bahwa alam (non manusia) bukan sekedar obyek eksploitasi, tapi ada dimensi spiritual di dalamnya.
3/ Epistemologi sains modern dalam memahami krisis lingkungan akibat frontier kapitalisme yang telah merangsek ke desa-desa menjadi amat penting di dunia pesantren. Perlu diperkenalkan epistemologi yang saling merangkul antara epistemologi pesantren dan sains modern dalam memahami krisis lingkungan ini.
Saya memaklumi dengan total jumlah anggota NU yang mencapai kurang lebih 100 juta dengan jumlah lembaga sosial dan pendidikan yang tak terhitung, di samping jumlah pesantren yang menopangnya, secara finansial sangat berat bagi NU. Dengan mengelola tambang PBNU meniati, seperti pernyataan Gus Yahya, untuk membiayai kegiatan keagamaan dan sosial. Tapi, apakah fund rising harus menoleh pada industri tambang yang jelas-jelas merusak? Tak ada strategi lain yang lebih elegan?
Perlu PBNU ketahui, dampak tambang itu tidak main-main. Sebaiknya PBNU turun secara langsung melihat dampak tambang secara sosial-ekologis dan berdialog dengan warga yang secara langsung memperoleh dampaknya.
Pengasuh pesantren di Sumenep hingga sekarang khawatir terhadap rencana penambangan fosfat yang dilegitimasi dalam Peraturan Daerah. Ada 18 kecamatan yang rencananya menjadi kawasan tambang fosfat. Para kiai sepakat menolaknya. Salah satu kekhawatiran para kiai, karena tambang fosfat yang berada di kawasan batu karst bisa mengancam krisis air. Setiap tahun nyaris selalu ada desa yang krisis air. Pada tahun 2023 ada 49 desa di 16 kecamatan yang mengalami darurat bencana kekeringan. Apalagi jika rencana besar-besaran tambang fosfat terjadi?
Terus terang keinginan kuat PBNU masuk dalam industri tambang mengangetkan saya. Diakui atau tidak, rencana PBNU mengelola tambang telah memangkas dan melemahkan pergerakan kiai (dalam kasus Sumenep) dan rakyat yang memperoleh dampak langsung dari daya rusak tambang terhadap sosial-ekologis.
Terakhir, sebaiknya PBNU mengkaji ulang keinginannya untuk mengelola tambang. Musyawarahkan dan kaji dulu dengan melibatkan banyak pihak yang tahu persis dampaknya.