Jakarta, Portonews.com – Dalam sebuah acara yang diselenggarakan atas kerjasama antara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Battuta (KMPLHK RANITA) dan Disaster Management Centre Dompet Dhuafa, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyerukan generasi muda Indonesia untuk mengambil langkah berani menempuh gugatan iklim. Ajakan ini disampaikan oleh Parid, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil Eksekutif Nasional WALHI, dalam orasi lingkungan hidup yang digelar di Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Banten.
Dengan tajuk acara “Indonesia Emas 2045 atau Indonesia Cemas 2024?”, Parid memaparkan bahwa krisis iklim global telah membuat suhu bumi meningkat lebih dari 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-revolusi industri. Dampaknya sangat dirasakan di Indonesia, terutama di wilayah pesisir, di mana kehidupan masyarakat semakin terpuruk. Ratusan nelayan kehilangan nyawa di laut, desa-desa pesisir diterjang banjir rob, dan pulau-pulau kecil tenggelam.
“Generasi muda harus sadar bahwa krisis iklim ini merampas hak mereka untuk hidup layak di masa depan. Kita harus menuntut pertanggungjawaban dari negara dan korporasi besar yang mengorbankan nasib planet bumi demi keuntungan ekonomi,” tegas Parid di hadapan ratusan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah.
Parid menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam menghentikan krisis iklim dengan menjadi penggugat iklim. Mereka diharapkan dapat menuntut pertanggungjawaban negara atas kebijakan yang memperburuk krisis iklim, serta menuntut korporasi multinasional yang memproduksi emisi dalam jumlah besar. WALHI siap mendampingi generasi muda yang ingin menempuh gugatan iklim.
Untuk menginspirasi para mahasiswa, Parid menceritakan kisah Sophie Backsen, seorang remaja dari Pulau Pellworm, Jerman, yang berhasil menggugat pemerintah Jerman untuk menetapkan penurunan emisi hingga nol persen pada tahun 2050. “Sophie menggunakan argumen keadilan antargenerasi untuk mempertahankan pulaunya yang telah ada selama lebih dari 300 tahun,” ungkap Parid.
Di Indonesia, masyarakat Pulau Pari tengah menempuh gugatan iklim melawan Holcim, perusahaan semen terbesar di dunia yang telah memproduksi lebih dari 7 miliar ton emisi CO2 sejak tahun 1950. “Kami mengajak generasi muda untuk mendukung gugatan iklim pertama di Indonesia ini. Ini adalah langkah penting untuk mewujudkan keadilan iklim,” tambah Parid.
Yudi Latif, seorang intelektual publik yang kini menjadi Board Yayasan Dompet Dhuafa, turut menyampaikan orasi dalam acara tersebut. Ia menyoroti rendahnya indeks keadilan antargenerasi Indonesia, yang berada di posisi ke-72 dari 122 negara. “Pembangunan kita merusak ekosistem dan tidak berpikir untuk generasi yang akan datang,” tegas Yudi Latif.
Pak Ashar, warga Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, menceritakan bagaimana desanya tenggelam akibat krisis iklim. Banjir rob telah mengubah kehidupan mereka, membuat anak-anak harus berangkat sekolah menggunakan sampan setiap hari. Jalan utama desa kini hanya berupa jalan kayu selebar satu meter, sulit untuk dilewati terutama saat ada warga yang sakit atau meninggal dunia.
“Air bersih pun sulit didapat, dan pemerintah belum memberikan bantuan yang berarti,” jelas Pak Ashar.
WALHI menyerukan generasi muda untuk tidak tinggal diam. Mereka diajak untuk mengambil langkah konkret demi masa depan yang lebih baik. “Ayo, generasi muda Indonesia, saatnya kita bertindak dan menempuh gugatan iklim. Masa depan planet ini ada di tangan kita,” tutup Parid dengan penuh semangat.
Acara ini menjadi momentum penting bagi generasi muda Indonesia untuk menyadari peran dan tanggung jawab mereka dalam menjaga bumi demi masa depan yang lebih cerah. Dengan dukungan dan tindakan nyata, harapan untuk Indonesia yang lebih baik bukanlah mimpi belaka.