Jakarta, Portonews.com – Memperingati Hari Pangan Internasional, penting untuk menyoroti peran perempuan dalam sistem pangan, terutama di pedesaan. Namun, kebijakan pemerintah yang berorientasi pada investasi justru menambah beban bagi perempuan, terutama melalui proyek Food Estate yang berpotensi mengubah fungsi lahan dan menyebabkan penderitaan di berbagai daerah.
Proyek Food Estate, yang dipromosikan pemerintah sebagai solusi untuk krisis pangan, ternyata memperdalam masalah yang dihadapi perempuan dan petani kecil. Alih-alih meningkatkan ketahanan pangan, proyek ini menyebabkan hilangnya lahan pertanian yang produktif dan memperparah ketergantungan Indonesia pada impor pangan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, lebih dari 30% kebutuhan pangan nasional masih bergantung pada impor, menandakan bahwa kebijakan ini justru melemahkan potensi pangan lokal.
Perempuan di pedesaan, yang merupakan pilar produksi pangan, kini menghadapi tantangan yang semakin besar akibat proyek ini. Mereka kehilangan akses terhadap tanah dan harus menghadapi dampak sosial dan ekonomi yang berat. Data dari FAO menunjukkan bahwa perempuan di sektor pertanian dapat meningkatkan produksi pangan hingga 30% jika diberi akses yang setara terhadap sumber daya seperti tanah dan air. Sayangnya, akses tersebut semakin dibatasi oleh proyek pembangunan yang meminggirkan peran perempuan.
Krisis ekonomi dan perubahan iklim turut memperburuk situasi di pedesaan. BPS mencatat bahwa pendapatan perempuan pedesaan menurun sejak pandemi, dengan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja turun dari 21,45% menjadi 17,44%. Inflasi harga pangan yang tinggi semakin memperparah kesulitan yang mereka alami, menciptakan siklus kemiskinan yang memaksa perempuan untuk migrasi demi mencari pekerjaan yang lebih baik.
Krisis pangan di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan proyek yang menguntungkan segelintir elit dan investor. Penting bagi pemerintah untuk memprioritaskan keadilan gender dan keberlanjutan ekologi, memastikan perempuan yang merupakan penjaga utama sistem pangan lokal memiliki akses penuh terhadap sumber daya yang mereka butuhkan.
Dalam aksi simbolik di depan Kementerian Keuangan, Solidaritas Perempuan, Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice, WALHI, KruHa, dan SBMI menyampaikan pesan tegas: “darah dari Food Estate,” sebagai simbol dari banyaknya pengorbanan akibat proyek ini. Mereka menekankan bahwa Food Estate adalah warisan buruk pemerintahan sebelumnya yang telah terbukti merugikan kehidupan petani dan masyarakat kecil, terutama perempuan yang memiliki ikatan kuat dengan lingkungan.
Di berbagai daerah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, pemaksaan proyek ini mengakibatkan penggusuran paksa, kriminalisasi petani, dan perusakan lingkungan. WALHI melaporkan bahwa sejak 2022, lebih dari 15.000 hektar lahan produktif di Sumatera dan 10.000 hektar di Papua telah dialihfungsikan untuk proyek Food Estate, mengakibatkan lebih dari 3.000 keluarga petani kehilangan akses terhadap lahan mereka.
Koalisi yang terdiri dari Solidaritas Perempuan, Aksi!, WALHI, KruHa, dan SBMI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proyek Food Estate dan kebijakan yang merugikan perempuan produsen pangan. Tuntutan mereka mencakup:
1. Penghentian proyek Food Estate yang merusak kehidupan petani dan perempuan di pedesaan.
2. Alokasi anggaran proyek Food Estate untuk memperkuat kedaulatan pangan lokal dan mendukung akses perempuan terhadap sumber daya produktif.
3. Penghormatan terhadap hak-hak perempuan produsen pangan dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan terkait lahan.
4. Penegakan hak atas tanah dan pengakhiran perampasan lahan, terutama di wilayah yang terdampak langsung oleh proyek ini.
5. Pencabutan semua kebijakan yang mendukung proyek Food Estate sebagai solusi palsu yang hanya menciptakan feminisasi kemiskinan.
Sumber : Siaran Pers Walhi
Hari Pangan Internasional menjadi momentum penting untuk menyerukan perubahan dan mendukung peran perempuan dalam sistem pangan, serta menuntut keadilan dan keberlanjutan di tengah tantangan yang ada.