Jakarta, Portonews.com – Dalam menghadapi tantangan besar sebagai ibu kota yang akan segera beralih statusnya, pemimpin Jakarta yang baru diharapkan untuk memikirkan strategi penanganan dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan secara menyeluruh, terutama di tahun pertama menjabat. Sebagai Kepala Daerah Khusus Jakarta, mereka akan mendapatkan sorotan publik yang tajam, khususnya terkait bagaimana kota global ini dikelola, termasuk upaya mengatasi krisis iklim yang kian mengkhawatirkan dan kerusakan lingkungan yang semakin meluas.
Salah satu isu yang mendesak adalah keamanan bermukim yang masih menjadi masalah bagi banyak warga Jakarta, khususnya di kawasan pesisir seperti Pulau Pari. Banyak warga di wilayah ini, serta di kampung-kampung kota lainnya, tidak memiliki akses terhadap infrastruktur dasar yang memadai, seperti saluran drainase yang baik, jalan yang layak, akses air bersih, serta tempat perlindungan dari bencana. Akibatnya, mereka menjadi lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Padahal, pemenuhan hak akan tempat tinggal yang aman dan layak merupakan hak dasar setiap warga kota.
Meningkatkan kualitas hidup melalui pemenuhan hak tersebut sangat penting untuk mengurangi kerentanannya terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Dalam hal ini, warga Jakarta melalui Komite Keadilan Perkotaan (KKP) bersama komunitas Betawi dan warga Pulau Pari mengajukan delapan tuntutan kepada calon pemimpin daerah yang akan datang. Tuntutan ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap warga Jakarta memiliki kesempatan yang setara dalam membangun masa depan kota mereka, serta mendorong komitmen kuat terhadap langkah-langkah pemulihan lingkungan yang berkelanjutan.
Delapan tuntutan tersebut antara lain adalah mempercepat pemulihan lingkungan dan ketahanan iklim, melibatkan warga dalam setiap kebijakan yang berhubungan dengan lingkungan, serta mencabut atau merevisi kebijakan publik yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia. Selain itu, mereka juga menuntut pengembalian identitas kota Jakarta melalui pelestarian budaya, jaminan hak politik bagi warga, terutama kelompok minoritas, serta kesetaraan dalam akses pelayanan publik dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Seiring dengan mendekatnya pemilihan kepala daerah, Komite Keadilan Perkotaan, bersama dengan warga Pulau Pari, menggelar aksi damai kreatif di Pantai Perawan, Pulau Pari. Pulau ini, yang terletak hanya 35 km dari daratan Jakarta, menjadi simbol perjuangan warga pesisir yang kerap kali terpinggirkan dari perhatian dalam pengelolaan kota. Mereka adalah kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim, namun jarang didengar dalam perencanaan kota.
Asmania, seorang warga Pulau Pari, mengungkapkan, “Konflik yang ada di Pulau Pari sudah berlangsung bertahun-tahun. Kami ingin, kepala daerah mendatang bisa menyelesaikan konflik ini dan mengelola pulau serta laut kami dengan cara yang lebih adil, langsung oleh warga Pulau Pari.” seperti dilansir dari siaran pers Greenpeace.
Roni dari Rembuk Pulihkan Jakarta juga menyampaikan kecaman terhadap pembangunan semena-mena yang merusak lingkungan di Pulau Pari. “Pemimpin Jakarta yang akan datang harus mampu melibatkan warga dalam proses pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip hak masyarakat untuk menentukan masa depan mereka sendiri,” tegasnya.
Dampak krisis iklim memang sangat kompleks, tidak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga mempengaruhi sektor ekonomi dan kesehatan. Misalnya, nelayan di kawasan pesisir Jakarta yang penghasilannya menurun drastis, pemukiman yang tergerus banjir rob di wilayah utara, serta dampak buruk terhadap kesehatan akibat buruknya kualitas udara. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh warga Jakarta dan berbagai komunitas ini sangat penting untuk memperbaiki kualitas hidup dan menciptakan Jakarta yang lebih adil, berkelanjutan, dan siap menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.