Jakarta, Portonews.com – Para aktivis lingkungan kecewa atas hasil dari Konferensi Perjanjian Plastik Global yang diadakan di Busan, Korea Selatan baru-baru ini. Meskipun pertemuan ini diharapkan menghasilkan kesepakatan konkret untuk mengatasi krisis plastik global, pembicaraan malah terjebak dalam perdebatan tentang kepentingan industri dan perbedaan pandangan antarnegara.
Nindhita Proboretno, Toxics Program Manager Nexus3 Foundation, menyatakan bahwa pertemuan Komite Negosiasi Antarpemerintah tentang Polusi Plastik ke-5 (INC-5) yang berlangsung di Korea Selatan diharapkan menghasilkan kesepakatan final. Namun, proses tersebut justru mengalami penundaan tanpa kejelasan kapan pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan.
Menurut Nindhita, negosiasi ini menghadapi penolakan keras dari sejumlah negara penghasil plastik, seperti Arab Saudi dan Rusia, yang menolak pembatasan produksi plastik. Negara-negara ini lebih memilih fokus pada pengelolaan sampah tanpa menyentuh produksi bahan baku plastik atau pengaturan bahan kimia berbahaya di dalamnya.
“Mereka menginginkan perjanjian ini terbatas pada manajemen sampah saja, bukan sampai ke hulu produksi plastik,” ujar Nindhita dalam diskusi bertajuk “Kabar dari Busan, INC-5 Plastics Treaty” yang diselenggarakan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) di Jakarta.
Sebaliknya, banyak negara berkembang, terutama dari kawasan Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin, sangat mendukung langkah ambisius untuk mengatur produksi plastik dari hulu ke hilir. Namun, Nindhita juga mencatat kritik keras terhadap pembatasan ruang partisipasi bagi kelompok pengamat seperti NGO, yang tidak bisa masuk ke ruang negosiasi.
“Negosiasi ini benar-benar buruk. Bahkan untuk pengamat sekalipun, partisipasi kami sangat dibatasi,” tambahnya. Meski begitu, beberapa NGO berhasil masuk sebagai bagian dari delegasi negara tertentu, seperti Filipina, yang menyampaikan informasi kepada kelompok pengamat.
Nindhita berharap pada pertemuan INC-5.2 mendatang, draft final teks negosiasi dapat dihasilkan. Meski begitu, proses ini masih membutuhkan tahapan panjang sebelum menuju konferensi diplomatik dan proses ratifikasi oleh negara-negara peserta.
Peran Indonesia dalam negosiasi ini juga mendapat sorotan. Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Keadilan Iklim Perkotaan Walhi, memberikan skor 5 dari 10 untuk peran Indonesia. Ia menilai posisi Indonesia dalam beberapa isu kunci, seperti pembatasan produksi plastik, mengecewakan. Dalam dokumen negosiasi yang diajukan, delegasi Indonesia bahkan menolak pengurangan produksi plastik pada pasal 6 tentang suplai, dengan alasan konsumsi plastik per kapita di Indonesia masih rendah dibandingkan rata-rata global.
“Fokus pemerintah dalam pasal transisi berkeadilan ini dominan pada aspek pendanaan, investasi, transfer teknologi, dan kerjasama antarpihak,” ungkap Ghofar.
Meski Indonesia mendukung negara-negara yang memerlukan bantuan khusus terkait siklus hidup plastik, Ghofar mencatat bahwa beberapa klausul yang diusulkan justru problematik, seperti perubahan terminologi yang dapat melemahkan fokus pengaturan emisi plastik.
Kritik juga datang terkait keterlibatan industri plastik dalam proses negosiasi. Pada pertemuan sebelumnya di Ottawa, Kanada, Indonesia mendapat kritik karena melibatkan delegasi industri seperti Chandra Asri Petrochemical dan Green Hope. Meskipun delegasi industri ini tidak dimasukkan dalam delegasi resmi Indonesia pada INC-5, mereka tetap hadir melalui asosiasi negara lain, seperti Malaysia dan Selandia Baru.
“Pada diskusi tentang pembatasan produksi plastik, Indonesia cenderung mengambil posisi netral dan tidak memberikan dukungan tegas,” kata Ghofar, yang menyoroti perbedaan posisi dengan negara-negara seperti Ruanda dan Meksiko yang secara vokal mendukung langkah ambisius.
Di sisi lain, Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3, berharap pertemuan INC-5.2 dapat menghasilkan kesepakatan penting terkait pengurangan produksi plastik primer. Sebanyak 100 negara mendukung target pengurangan plastik secara signifikan, dan 86 negara menyerukan kesepakatan untuk melindungi kepentingan negara kepulauan yang rentan terhadap dampak sampah plastik.
“Produksi plastik global tidak memiliki masa depan berkelanjutan. Penurunan sumber daya ini menjadi momen bagi dunia untuk memprioritaskan solusi yang lebih ramah lingkungan,” katanya.
Usulan pelarangan produksi plastik jenis polyvinyl chloride (PVC) pada 2030 atau 2040 mengemuka, yang bertujuan menutup pabrik-pabrik tua yang tidak efisien tanpa mengganggu pasar global. Di Eropa, beberapa pabrik pengolah plastik sudah mulai ditutup, dan kawasan ini gencar mempromosikan ekonomi sirkular sebagai solusi alternatif.
Namun, Yuyun juga menyoroti pentingnya revisi kebijakan subsidi di Indonesia, terutama terkait sektor industri ekstraktif yang merusak lingkungan. “Subsidi dan insentif pajak untuk industri plastik harus ditinjau kembali,” tegasnya.
Sementara itu, Rahyang Nusantara, Deputi Director Dietplastik Indonesia, menekankan pentingnya adopsi sistem guna-ulang untuk mengelola sampah plastik secara berkelanjutan. Ia menyebutkan bahwa Korea Selatan telah berhasil menerapkan sistem ini di tingkat nasional, seperti pada layanan makanan di restoran dan acara besar. Menurutnya, Indonesia dapat mengikuti langkah Korea Selatan dalam mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai.
Dengan dasar regulasi yang cukup, seperti Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri LHK, Indonesia memiliki potensi untuk menerapkan sistem guna-ulang, meskipun implementasinya masih terbatas.
“Pemerintah dan pelaku usaha perlu memanfaatkan momentum ini untuk mempercepat implementasi guna-ulang,” ujar Rahyang.
Sumber : Mongabay