Jakarta, Portonews.com – Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sulit untuk diprediksi, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati. Ia menyatakan bahwa meski pihaknya pernah mencoba melakukan prediksi, akurasinya sangat rendah sehingga hasilnya tidak dipublikasikan, seperti dialsir dari laman Mongabay (1/10).
Pernyataan ini senada dengan penjelasan dari US Geological Survey (USGS), yang menyebutkan bahwa para ilmuwan mereka tidak pernah berhasil memprediksi gempa bumi besar. Sebaliknya, mereka hanya dapat menghitung probabilitas terjadinya gempa bumi besar di lokasi tertentu dalam rentang waktu tertentu.
USGS mengidentifikasi empat istilah yang sering membingungkan terkait informasi gempa: sistem peringatan dini, prakiraan, probabilitas, dan prediksi. Sistem peringatan dini berfungsi untuk memberikan informasi kepada masyarakat beberapa saat sebelum gempa terjadi. Prakiraan menunjukkan peluang jangka pendek untuk kejadian gempa susulan, sedangkan probabilitas mencerminkan peluang jangka panjang yang ditentukan berdasarkan kejadian di masa lalu. Prediksi, di sisi lain, membutuhkan penjelasan yang lebih detail tentang waktu, lokasi, dan kekuatan gempa.
Salah satu masalah utama dalam memprediksi gempa adalah banyaknya klaim yang tidak didukung oleh bukti ilmiah. Beberapa orang mengaitkan gempa dengan fenomena seperti kemunculan awan, perubahan perilaku hewan, atau gangguan pada tubuh manusia tanpa penjelasan yang jelas. Padahal, gempa bumi adalah proses yang seharusnya diteliti berdasarkan metode ilmiah yang sah.
Jika gempa bumi bisa diprediksi dengan akurat, potensi untuk mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur tentu akan meningkat. Namun, hingga saat ini, prediksi gempa masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, langkah yang paling efektif adalah mengurangi risiko bencana melalui peningkatan ketahanan bangunan, penyediaan jalur evakuasi, serta pelatihan evakuasi mandiri.
Berdasarkan laporan dari Nature, bukti empiris yang menunjukkan hubungan antara fenomena alam tertentu dan gempa bumi sangat terbatas. Hanya ada sedikit indikasi seperti peningkatan radon di sumber air atau perilaku aneh hewan yang mungkin terkait dengan kejadian gempa. Namun, bahkan gempa bumi yang terjadi tidak selalu diikuti dengan tanda-tanda ini.
Sementara itu, ilmuwan terus berupaya mengembangkan model matematika untuk mempelajari pergerakan lempeng tektonik. Akan tetapi, untuk menghasilkan prediksi yang akurat diperlukan pemetaan dan analisis kerak bumi yang sangat mendalam. Penggunaan kecerdasan buatan dalam proses ini juga menghadapi kendala berupa kurangnya data historis yang komprehensif.
Meski demikian, Gayatri Indah Marliyani, seorang pakar gempa dari UGM, berpendapat bahwa penelitian mengenai prediksi gempa bumi seharusnya tetap dilanjutkan. “Jika berhasil, akan memberi manfaat besar bagi kehidupan umat manusia,” tegasnya.
Tahun 2023, Indonesia tercatat mengalami 10.789 kali gempa bumi, di mana 10.570 di antaranya adalah gempa kecil dengan magnitudo kurang dari 5, sementara 219 sisanya memiliki magnitudo di atas 5. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah gempa bumi terbanyak di dunia, menurut data Earthquakelist.
Keberadaan gempa bumi yang tinggi di Indonesia disebabkan oleh letaknya yang strategis, yakni di jalur pertemuan tiga lempeng tektonik: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng-lempeng ini terus bergerak, dan akumulasi energi dari pergerakan tersebut menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Selain itu, Gayatri juga mengingatkan bahwa gempa sesar daratan, yang jaraknya lebih dekat ke permukaan, perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan. “Semakin dekat dengan sumber gempa, maka semakin besar guncangannya,” ujarnya.
Sementara itu, keberadaan sesar aktif di Indonesia sulit dipetakan akibat tingginya curah hujan, yang menyebabkan erosi dan pelapukan batuan. Meskipun sulit untuk memprediksi gempa, data geologi dan pencatatan bencana di masa lalu dapat menjadi acuan untuk mengidentifikasi lokasi yang berpotensi mengalami gempa.
Riset terkait prediksi gempa bumi terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, termasuk analisis seismisitas, gangguan gelombang elektromagnetik, serta anomali emisi gas radon. Namun, hingga saat ini, penelitian tersebut belum mampu memberikan hasil prediksi yang konsisten dan positif.