Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) di Lombok Timur, menyoroti dampak buruk penambangan pasir laut di wilayahnya. “Penambangan pasir laut telah merusak laut kami, memaksa nelayan dari desa seperti Pringgabaya dan Labuhan Haji untuk melaut hingga ke perairan Pulau Salura di Nusa Tenggara Timur selama 20 hari setiap enam bulan,” jelasnya.
Marzuki, nelayan dari Tambakrejo, Semarang, menambahkan bahwa pertambangan pasir laut yang dilegalkan oleh PP 26/2023 dan Permen KP 33/2023 mengancam mata pencaharian nelayan di Pantai Utara Jawa. “Pertambangan ini hanya akan memperburuk kondisi kami yang sudah kesulitan menangkap ikan akibat krisis iklim dan industri yang semakin masif,” ujarnya.
Selain menolak PP 26/2023, masyarakat pesisir juga menyatakan penolakannya terhadap konsep ekonomi biru yang dipromosikan pemerintah. Mustagfirin dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, menyebut bahwa konsep ini hanya memperparah situasi. “Kami terancam oleh perusahaan pariwisata yang ingin menguasai lahan di Pulau Pari, dan dampak krisis iklim telah mengurangi luas pulau kami sebanyak 11 persen,” katanya.
Sufyan Tsauri dari Pulau Sangiang juga mengkritik konsep ekonomi biru yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. “Jumlah keluarga di Pulau Sangiang terus menurun karena ekspansi industri pariwisata yang merampas lahan kami,” ujarnya.
Dilansir dari laman resmi Walhi, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, menegaskan bahwa kebijakan penambangan pasir laut dan promosi ekonomi biru hanya menguntungkan perusahaan asing dan merugikan masyarakat pesisir. “Pemerintah seharusnya fokus pada pemulihan ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang serta menempatkan masyarakat pesisir sebagai prioritas utama,” tegasnya.