Halmahera, Portonews.com – Laut Halmahera Timur, sebuah wilayah penting di Provinsi Maluku Utara, menjadi saksi bisu dari dampak industri tambang nikel yang semakin merusak ekosistem laut. Industri ekstraktif yang marak di pulau Halmahera dan pulau sekitarnya telah mengubah pandangan mengenai kondisi laut di Maluku Utara.
Pada Senin (25/12/2023), sebuah video yang direkam oleh seorang warga Halmahera Timur menjadi viral di berbagai platform media. Video tersebut memperlihatkan perubahan drastis warna air laut, yang kini berubah menjadi kuning. Kondisi tersebut merupakan akibat tercemarnya laut dengan material ore hasil kerukan tambang nikel.
Ikmal Yasir, seorang warga Desa Maba Sangaji, Kota Maba, Halmahera Timur yang merekam video tersebut, menjelaskan bahwa kejadian keruhnya air laut ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Namun, kali ini merupakan kejadian yang paling parah yang pernah ia saksikan. Dia menyatakan bahwa sebelumnya, warga tidak pernah mengabadikan kejadian pencemaran tersebut.
“Saya merekam video pada Senin (25/12/2023) sekitar pukul 14.30 WIT. Kami sudah terbiasa melihat laut berwarna kuning kecoklatan seperti ini, tapi tidak separah sekarang. Saat kami mengunjungi pantai dan melihat kondisinya seperti ini, kami sangat terkejut,” ungkapnya.
Menurut Yasir, lumpur yang terbawa dan menggenangi pesisir di depan desanya sangat tebal. Dia juga menegaskan bahwa saat kejadian tersebut, wilayah pesisir tidak sedang mengalami hujan. Namun, ia juga merasa tidak yakin apakah hujan terjadi di bagian hulu, terutama di lokasi perusahaan tambang. Kemungkinan hujan membawa material tambang yang akhirnya masuk ke sungai.
“Diperkirakan perubahan warna air laut ini disebabkan oleh sedimentasi lumpur yang mengalir melalui Sungai Sangaji, Desa Maba Sangaji,” ungkap Said Marsaoly, warga lainnya di Kota Maba, Halmahera Timur.
Dampak Terhadap Nelayan Lokal
Akibat tercemarnya laut dari aktivitas tambang ini, nelayan setempat mengalami dampak yang signifikan. Mereka tidak lagi bisa melaut untuk mencari ikan seperti biasanya. Di kawasan laut ini, para nelayan sering menggunakan jaring atau pancing untuk menangkap ikan.
“Mereka harus terdampar karena kondisi air yang tercemar oleh lumpur tambang. Padahal, laut ini biasanya menjadi tempat mencari ikan bagi kami,” tambah Yasir dengan nada prihatin.
Tantangan Penyelesaian Masalah
Situasi ini menimbulkan tantangan serius bagi pemerintah setempat dan para pemangku kepentingan terkait. Perlu adanya langkah yang cepat dan efektif untuk mengatasi pencemaran ini dan memastikan keselamatan lingkungan serta mata pencaharian masyarakat yang terdampak.
Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sumber pencemaran dan koordinasi yang kuat antara otoritas terkait serta perusahaan tambang menjadi kunci dalam menangani masalah ini.
Kondisi laut Halmahera Timur yang tercemar oleh limbah nikel mengingatkan akan pentingnya pengelolaan yang berkelanjutan dalam industri ekstraktif, demi menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan mata pencaharian masyarakat lokal.
Pulau Mobon: Destinasi Wisata yang Terancam
Kondisi perairan yang tercemar parah dengan lumpur tebal hasil aktivitas tambang nikel telah mengubah pandangan terhadap keindahan perairan di sekitar Pulau Mobon, sebuah destinasi wisata yang terletak sekitar 500 meter dari Desa Maba Sangaji. Air laut yang kini berwarna kuning kecoklatan menyebar luas hingga ke perairan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Pulau Mobon bukan hanya sebuah tujuan wisata biasa di Halmahera Timur. Di sana terdapat sejumlah makam yang dikeramatkan oleh warga setempat. Saat air surut, mereka biasanya mencari kerang dan kaolas, sejenis tumbuhan laut, yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Timur, Harjon Gafur, telah turun langsung ke lapangan untuk menyaksikan kejadian ini secara langsung dan mendokumentasikannya. Menurutnya, kejadian ini terkait dengan hujan yang turun di belakang Moronopo, yang kemudian mempengaruhi kondisi Sungai Sangaji, menjadi salah satu sumber pencemaran.
Gafur menjelaskan bahwa sumber pencemaran ini terkait dengan aktivitas sebelumnya dari PT Harita, yang kini sudah pindah kepemilikan konsesinya kepada PT Wana Kencana Mineral (WKM), termasuk wilayah yang masuk dalam IUP milik PT WKM. Dia juga menunjukkan bahwa gambar-gambar yang diambil beberapa bulan sebelumnya memperlihatkan bahwa tidak ada penataan yang jelas di wilayah bukaan oleh PT Harita.
Tantangan Penegakan Aturan dan Perbaikan
Dalam respons terhadap kejadian ini, DLH telah memanggil pihak perusahaan terkait dan meminta mereka untuk segera melakukan perbaikan yang diperlukan. “Kami berharap bahwa dengan kejadian ini, pihak terkait dapat ditegur dan kami akan bersikeras pada langkah-langkah yang diperlukan,” jelas Gafur.
Dia juga menegaskan bahwa peristiwa pencemaran laut oleh aktivitas tambang ini sudah terjadi berulang kali. Situasi ini menyoroti tantangan dalam penegakan aturan dan perlindungan lingkungan hidup di tengah maraknya aktivitas industri ekstraktif, serta perlunya tindakan yang lebih tegas dan konsisten dari pihak berwenang untuk mencegah dampak negatif yang lebih lanjut terhadap ekosistem laut dan masyarakat sekitar.
Langkah DLH Halmahera Timur dan Tantangan Ke Depan
DLH Halmahera Timur mengakui bahwa mereka terus melakukan pemantauan secara rutin terkait permasalahan ini. “Kami merekomendasikan hasil pemantauan secara berkala. Kami telah meminta mereka untuk melakukan penataan agar kejadian serupa tidak terulang, khususnya terkait aliran air yang memengaruhi perubahan warna di Sungai Sangaji. Penataan ini wajib sesuai dengan ketentuan dalam dokumen lingkungan yang telah diamanatkan,” jelas perwakilan DLH.
Mereka juga akan mengirim surat kepada perusahaan terkait untuk minimal memberitahukan perubahan signifikan dalam kondisi lingkungan, terutama di Sungai Sangaji. Namun, ketika ditanya apakah peristiwa ini akan direkomendasikan kepada Kementerian LHK untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaan sampai ada langkah serius dalam penataan dan pemulihan, DLH belum memberikan keputusan pasti. Mereka menyatakan bahwa hal ini masih akan dipertimbangkan ke depannya.
Perlu dicatat bahwa insiden pencemaran laut oleh limbah tambang bukanlah kejadian yang pertama kali terjadi. Beberapa waktu lalu, perairan di selat Pulau Belemsi dan tanah besar daratan Halmahera Timur, tepatnya di depan Desa Maba Pura, juga diduga tercemar oleh BBM jenis oli yang bercampur dengan lumpur hasil kerukan tambang. Dampaknya tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga merusak peralatan nelayan, seperti jaring pukat jenis kofo milik nelayan bagan penangkap ikan teri alami. Hal ini mengakibatkan nelayan bagan di pulau tersebut harus berpindah tempat, meskipun perairan sekitar pulau tersebut merupakan tempat potensial untuk menangkap ikan teri dan kembung.
Wilayah Maba dan sekitarnya merupakan lokasi dari beberapa perusahaan tambang nikel. Beberapa di antaranya bahkan memiliki dermaga pengangkutan ore nikel di sekitar kawasan Desa Wai Lukum Halmahera Timur.
Perlunya Tindakan Konsisten dan Tanggung Jawab Bersama
Pencemaran laut oleh limbah tambang menjadi tantangan serius bagi lingkungan dan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat lokal, terutama para nelayan. Keberadaan sejumlah perusahaan tambang di wilayah ini menuntut tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga lingkungan hidup.
Langkah-langkah tegas, pemantauan yang ketat, serta kerjasama yang erat antara pihak berwenang, perusahaan tambang, dan komunitas lokal menjadi kunci dalam meminimalisir dampak negatif dan menjaga kelestarian lingkungan laut. Tindakan konsisten dan responsif dari semua pihak dibutuhkan agar pencemaran semacam ini dapat dicegah dan lingkungan serta mata pencaharian masyarakat tetap terjaga dengan baik.
Kondisi Teluk Buli Halmahera Timur: Ancaman Serius terhadap Lingkungan dan Pangan Protein
Informasi dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Ditjen Minerba Kementerian ESDM menyebutkan bahwa Kabupaten Halmahera Timur memiliki 24 izin usaha pertambangan (IUP). Namun, Dr. Muhammad Aris, Dosen Universitas Khairun Ternate yang juga Ketua Pusat Kajian Akuakultur (Pusaka), mengungkapkan hasil risetnya yang menunjukkan bahwa kawasan laut Halmahera Timur, khususnya perairan Teluk Buli, telah mengalami kerusakan parah.
Riset yang dilakukannya dua kali menemukan migrasi dan kematian ikan di perairan Teluk Buli, yang menandakan kondisi habitat yang sangat terganggu. Aris menjelaskan bahwa terjadi sedimentasi yang tinggi akibat aliran partikel tanah dari pembongkaran lahan dan pengambilan tanah dari Halmahera Timur.
“Tingginya kandungan nikel, besi, dan logam berat lainnya yang terlarut dalam perairan menjadi masalah serius. Hal ini mengancam ketersediaan pangan protein di Halmahera Timur dan Maluku Utara,” ujarnya.
Hasil riset terbaru pada tahun 2023 menunjukkan bahwa ikan-ikan yang tercemar telah terakumulasi logam berat, yang sangat membahayakan jika dikonsumsi. “Data dari uji laboratorium menunjukkan tingkat kandungan besi yang paling tinggi terdapat dalam tubuh ikan yang diuji,” jelasnya.
Aris menekankan pentingnya perhatian serius dari semua pihak untuk menangani situasi ini. Dampak serius terhadap lingkungan dan ketersediaan pangan protein di daerah tersebut membutuhkan penanganan yang cepat dan berkelanjutan agar bisa mengurangi risiko kesehatan masyarakat setempat.
Pemantauan Rutin dan Penelitian Mendalam: Diperlukan pemantauan rutin secara berkala untuk memahami perkembangan dan dampak lebih lanjut terhadap lingkungan Teluk Buli. Penelitian mendalam juga diperlukan untuk memahami sumber pencemaran dan efek jangka panjangnya terhadap kehidupan laut.
Kolaborasi antara Pemerintah dan Lembaga Akademis: Kerjasama yang erat antara pemerintah daerah, lembaga penelitian, dan lembaga akademis dapat menghasilkan pendekatan terpadu untuk mengatasi pencemaran Teluk Buli. Ini melibatkan sharing data, penelitian bersama, serta implementasi solusi yang inovatif.
Regulasi dan Penegakan Hukum yang Ketat: Perlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas dampak lingkungan. Memastikan penegakan aturan dan peraturan lingkungan yang ketat adalah kunci dalam mencegah lebih lanjutnya kerusakan di Teluk Buli.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Kampanye pendidikan lingkungan yang aktif dapat meningkatkan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya menjaga lingkungan mereka. Pendidikan ini juga dapat membantu dalam membangun kepedulian serta partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan.
Kesimpulan:
Teluk Buli Halmahera Timur menghadapi ancaman serius akibat pencemaran dan kerusakan habitat laut. Tingginya kandungan logam berat di perairan tersebut menjadi ancaman serius bagi ketersediaan pangan protein di wilayah tersebut. Pentingnya tindakan cepat, kolaborasi yang kuat antara pemerintah, lembaga penelitian, industri, dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.
Pemantauan rutin, penelitian mendalam, penegakan regulasi yang ketat, serta pendidikan lingkungan yang lebih baik adalah beberapa langkah penting yang harus diambil secara bersamaan untuk menjaga kelestarian Teluk Buli dan keberlanjutan lingkungan serta sumber daya perikanan di wilayah tersebut.