Yogyakarta, Portonews.com – Sejak ditutupnya Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan pada 23 Juli 2023, masyarakat Yogyakarta kembali mengulangi kebiasaan lama mereka, yaitu membuang sampah ke sungai. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah tindakan tersebut dapat dianggap sebagai solusi atau justru masalah baru yang harus dihadapi?
Permasalahan sampah di Indonesia terus menjadi tantangan yang sulit diselesaikan. Setiap rumah tangga menghasilkan sampah setiap harinya, dan dengan meningkatnya jumlah penduduk, volume sampah pun semakin bertambah. Dengan hilangnya akses ke TPST Piyungan, banyak warga beralih ke sungai sebagai “tempat pembuangan alternatif”. “Kami terpaksa membuang sampah ke sungai karena tidak ada tempat lain,” ungkap Siti, seorang warga sekitar. Meskipun menyadari dampak negatifnya, banyak dari mereka merasa tidak memiliki pilihan lain karena sistem pengangkutan sampah yang tidak memadai dan kurangnya fasilitas pembuangan sementara.
Kebiasaan ini tidak hanya mengancam ekosistem sungai, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan dan lingkungan. Sampah plastik, limbah rumah tangga, hingga limbah berbahaya lainnya mencemari aliran air. Dalam hal ini, Dinas Lingkungan Hidup Yogyakarta mencatat, “Jika praktik membuang sampah ke sungai ini terus berlanjut, dampaknya akan sangat merugikan bagi masyarakat dan lingkungan.”
Membuang Sampah ke Sungai: Sebuah Solusi Cepat yang Menipu
Membuang sampah ke sungai mungkin memberikan ilusi bahwa sampah hilang dari pandangan dalam waktu singkat. Air sungai yang mengalir membawa sampah menjauh, menciptakan kesan bahwa masalah sampah telah teratasi. Namun, kenyataannya, sampah tersebut hanya berpindah tempat dan akan bermuara di lautan. “Ini adalah solusi yang sangat menipu,” jelas Dr. Rudi, seorang ahli lingkungan. “Sampah yang dibuang ke sungai akan berkontribusi pada pencemaran air dan merusak ekosistem laut.”
Sungai yang tercemar dapat menyebabkan penumpukan sampah dan penyumbatan aliran, berpotensi menimbulkan banjir saat musim hujan. “Air sungai masih digunakan oleh masyarakat untuk mencuci dan bahkan sebagai sumber air minum,” kata Rina, seorang warga yang khawatir akan kesehatan keluarganya. Pencemaran ini tentu menambah risiko penyakit yang diakibatkan oleh bakteri dan patogen.
Banjir yang membawa sampah yang mengendap di dasar sungai dapat merusak rumah dan menciptakan kondisi yang tidak sehat bagi masyarakat. “Kami khawatir dengan kesehatan anak-anak kami yang sering bermain di sekitar sungai,” tambah Rina. Dengan demikian, krisis sampah ini tidak hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan publik.
Krisis Ekologis yang Mencuat
Lebih jauh lagi, pencemaran sungai akibat sampah berpotensi merusak ekosistem laut. Sampah yang terbawa oleh aliran sungai akhirnya mengalir ke laut, berkontribusi pada masalah polusi plastik yang kini menjadi isu global. Menurut penelitian, mikroplastik yang dihasilkan dari limbah plastik yang dibuang ke perairan dapat masuk ke dalam rantai makanan manusia melalui ikan dan makanan laut lainnya. “Kita harus menyadari bahwa limbah yang kita buang bisa kembali kepada kita melalui makanan yang kita konsumsi,” jelas Dr. Andi, seorang peneliti lingkungan.
Studi yang dilakukan oleh beberapa negara menunjukkan adanya mikroplastik dalam tinja manusia, menandakan pencemaran yang telah merambah ke rantai makanan. “Ini jelas berbahaya untuk kesehatan manusia,” ujar Dr. Andi. Berbagai potensi risiko kesehatan dapat muncul, termasuk gangguan saluran pencernaan, masalah reproduksi, hingga kanker.
Dengan kondisi ini, sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait bekerja sama untuk mencari solusi yang efektif dalam menangani masalah pengelolaan sampah. Program pengelolaan yang berkelanjutan dan kesadaran masyarakat akan dampak perilaku membuang sampah harus menjadi prioritas untuk melindungi lingkungan dan kesehatan masyarakat.