Jakarta, Portonews.com – Dalam suasana pelantikan resmi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih untuk periode 2024-2029, aksi diam yang digelar oleh Koalisi Warga berakhir dengan pembubaran paksa oleh aparat kepolisian. Meskipun rencana aksi tersebut meliputi beberapa lokasi, intimidasi di titik pertama membuat para peserta tidak dapat melanjutkan ke titik lainnya.
Para peserta aksi membawa poster-poster berisi kritik tajam terhadap pemerintah Jokowi, menyuarakan isu-isu serius seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), perampasan ruang hidup, dan kriminalisasi para pejuang lingkungan. Mereka juga mengangkat masalah politik impunitas serta tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mencoreng demokrasi. Melalui poster-poster ini, Koalisi Warga berharap pemerintah baru dapat belajar dari kesalahan masa lalu.
Namun, saat aksi berlangsung, tindakan represif dari aparat menjadi sorotan. Polisi dan petugas berpakaian preman melakukan intimidasi, merampas dan merobek poster-poster yang dibawa, sehingga membuat aksi tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Koordinator aksi, Wana Alamsyah, menyampaikan kepada wartawan, “Kepemimpinan Presiden Jokowi meninggalkan banyak catatan buruk dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan terang melakukan pengkhianatan terhadap reformasi dan demokrasi.”
Lebih lanjut, Wana mengungkapkan, “Tindakan pemerintah yang melemahkan institusi demokrasi, tidak menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, serta mengelola sumber daya alam dengan cara yang merugikan lingkungan dan masyarakat adalah bentuk kegagalan yang serius.”
Ia juga mengkritik keras tindakan aparat yang menghalangi hak warga untuk menyampaikan pendapat, menegaskan bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak memiliki dasar hukum. “Kami tidak diperbolehkan mengkritik pemerintah. Tindakan ini mencerminkan bahwa kebebasan berpendapat masih terancam,” tegasnya.
Para peserta aksi merasa kecewa, menyadari bahwa meskipun masa pemerintahan Jokowi telah berakhir, pembungkaman suara kritis tetap berlangsung. “Apa yang terjadi hari ini menjadi tanda bahwa pembungkaman suara kritis terus terjadi sampai akhir masa pemerintahan Jokowi, dan itu juga menjadi pembungkaman suara kritis pertama pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran,” ungkap Wana.
Situasi ini menjadi cerminan kondisi demokrasi yang memprihatinkan. Transisi kekuasaan seharusnya dijadikan momentum perbaikan, tetapi tindakan represif ini menunjukkan bahwa ruang untuk kebebasan berpendapat semakin menyempit.
Wana mengingatkan, “Demokrasi yang sehat memerlukan kritik sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah. Kritik dari rakyat adalah hak yang harus dihormati, bukan dibungkam.”
Dalam menghadapi tantangan ke depan, penting bagi masyarakat untuk bersatu dan memperjuangkan haknya untuk bersuara. Ketika kebebasan berekspresi dibatasi, adalah saatnya warga negara bersatu demi menjaga demokrasi yang lebih baik.
Semangat untuk perubahan harus terus dipupuk. Setiap tindakan represif hanya akan memperkuat tekad rakyat untuk terus bersuara demi Indonesia yang lebih adil dan demokratis.
Sumber : Siaran Pers Walhi