Jakarta, Portonews.com – Humas BRIN. Stunting masih menjadi masalah utama di Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting nasional sebesar 21,5%. Angka tersebut masih jauh dari target penurunan sebesar 14% pada tahun 2024.
Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencoba menurunkan angka stunting dengan memanfaatkan sumber pangan lokal melalui intervensi pemberian makanan tambahan berbasis sumber protein hewani yang diperkaya daun kelor pada balita stunting dan anemia, khususnya di Kabupaten Gunungkidul.
“Stunting itu sendiri bisa diartikan sebagai gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar,” jelas Dini dalam acara rutin BRIN Insight Every Friday-BRIEF, Jumat (2/8/2024).
Dini menerangkan, bahwa penyebab stunting sangat kompleks. Di Gunungkidul beberapa kasus bermula dari remaja yang mengalami anemia baik disadari maupun tidak. Kemudian menjadi calon ibu dan melahirkan anak dengan risiko stunting.
Lebih lanjut, Dini menjelaskan bahwa pangan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
“Kemudian dengan adanya bahan pangan lokal yang sangat bervariasi membutuhkan suatu sentuhan teknologi agar bisa dimanfaatkan dan bisa bersifat sebagai pangan fungsional. Pangan fungsional bisa diartikan sebagai bahan pangan untuk produk pangan yang disamping mengandung fungsi gizi dasar juga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan,” ujar Dini.
Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan berupaya menggali potensi bahan-bahan lokal yang mudah didapat dan dapat diolah dengan cara sederhana. Produk tersebut harus disukai oleh anak-anak. Dalam kegiatan ini, Dini juga turut memaparkan potensi ikan, tempe, dan daun kelor serta persentase proteinnya.
Dini menyebutkan, sejak 2020, BRIN bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul untuk mempercepat penurunan angka stunting melalui pelatihan pembuatan makanan tambahan untuk balita. Terbaru, pada Juli 2023 sampai Juli 2024, dilakukan kegiatan diversifikasi produk pangan lokal yang diperkaya daun kelor untuk mendukung percepatan penurunan angka stunting. Kegiatan ini diinisiasi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Gunungkidul untuk menggarap desa lokus stunting di Gunungkidul yaitu, Desa Kelor.
Dini menjelaskan lebih lanjut, dalam kegiatan tersebut produk berbasis pangan lokal yang dikembangkan antara lain bolu kukus tempe, sosis ayam kelor, nugget ikan tempe kelor, sempol tempe kelor, dan dimsum ikan kelor. Produk ini diperkaya dengan daun kelor, yang memiliki banyak manfaat dan mudah ditemukan di Desa Kelor.
Setelah produk selesai, dilakukan pelatihan untuk ibu-ibu rumah tangga dengan berkoordinasi dengan kader PKK, Posyandu, dan UKM. Pelatihan ini diikuti oleh 25 ibu rumah tangga yang peduli dengan masalah stunting. Setelah 12 minggu pemberian makanan tambahan, dari 29 balita yang diperiksa, 44,83% mengalami kenaikan kadar Hb, dan 68,97% menunjukkan kadar Hb normal (di atas 11).
Selain itu, Dini juga memaparkan hasil-hasil riset PRTPP-BRIN terkait masalah stunting, seperti WalanX Snack Bar dari belalang, SORA (Sosis dari kecambah sorgum), Momie (mie instan cup dari tepung mocaf), flake tabur Purula (dari rumput laut dan kedelai), dan coklat yang difortifikasi dengan kacang tunggak dan kacang gude.