Jakarta, Portonews.com – Kopi arabika gayo dikenal karena cita rasanya yang kaya dan kompleks, dengan aroma yang harum dan keasaman yang seimbang, menjadikannya salah satu varietas terbaik di dunia dan favorit di kalangan pecinta kopi.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh melaporkan bahwa pada tahun 2020, luas kebun kopi masyarakat di Aceh Tengah mencapai 50.942 hektar, sementara di Kabupaten Bener Meriah seluas 48.163 hektar. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya sektor kopi, khususnya kopi arabika, bagi kehidupan masyarakat di dua kabupaten tersebut.
“Semua kebun kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah milik pribadi dengan luas beragam. Tidak ada perusahaan perkebunan. Masyarakat yang bekerja sebagai pemetik kopi, pengepul, penyortir, hingga pedagang sangat bergantung kopi arabika,” ungkap Syahrizal, seorang petani kopi dari Aceh Tengah. Ia menekankan bahwa kerusakan pada pohon kopi akan berdampak luas, bukan hanya bagi petani, tetapi juga bagi seluruh warga yang menggantungkan hidup pada hasil kopi.
“Jika pohonnya rusak maka yang miskin itu semua warga Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,” tambahnya, menyuarakan kepedihan yang dirasakan masyarakat akibat potensi ancaman dari rencana pembukaan pertambangan emas dan perak skala besar di Kecamatan Rusip Antara.
Rencana yang diungkapkan pada 17 Oktober 2024 ini melibatkan PT Pegasus Mineral Nusantara, yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Provinsi Aceh. Tambang yang direncanakan memiliki luas 9.968,06 meter persegi dan kapasitas produksi tahunan mencapai 2.090.000 ton. Syahrizal memperingatkan bahwa jika tambang dibuka, masa depan kopi arabika gayo yang dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia akan terancam.
“Semua berawal dari rusaknya hutan dan lingkungan di dataran tinggi Gayo. Jika muncul tambang emas, saya khawatir kopi arabika gayo akan tinggal kenangan,” tegasnya. Keresahan ini bukan tanpa alasan, mengingat beberapa tahun terakhir, pohon kopi juga terancam oleh serangan ulat buah dan hama penggerek batang.
Sebelumnya, protes serupa juga diungkapkan oleh petani kopi terhadap rencana pertambangan emas di Kecamatan Linge, yang dioperasikan oleh PT Linge Mineral Resource. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, perusahaan tersebut telah mengantongi IUP Eksplorasi sejak 2009 dan merencanakan aktivitas di area yang sama.
Sri Wahyuni, Sekretaris Gayo Alas Conservation Center, menyoroti dampak yang lebih luas dari rencana ini. “Pertambangan emas dan perak tidak hanya berdampak pada masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah, tapi juga masyarakat di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan,” jelasnya, seperti dilansir dari laman Mongabay. DAS ini menjadi sumber kehidupan bagi banyak penduduk dan juga mempengaruhi aliran sungai yang bermuara ke Selat Malaka.
Kekhawatiran akan peningkatan konflik antara manusia dan satwa liar, terutama di habitat gajah dan harimau sumatera, juga diungkapkan. “Pemerintah seharusnya lebih bijak mengeluarkan izin, jangan sampai menghancurkan kehidupan masyarakat,” imbuhnya.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani, mengungkapkan bahwa pihaknya pernah protes terhadap pemberian izin tambang yang terkesan terburu-buru menjelang akhir masa jabatan Gubernur Nova Iriansyah. Ia menekankan bahwa izin tersebut tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat, malah berpotensi menimbulkan masalah baru.
Dari informasi yang diperoleh, PT Pegasus Mineral Nusantara memiliki total luas IUP emas di Aceh Tengah sekitar 1.008 hektar, dan izin perusahaan berakhir pada 17 Maret 2030. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah berharap agar suara mereka didengar dan perhatian terhadap keberlanjutan lingkungan dan mata pencaharian mereka terus dijaga.