Selat Kerch, Portonews.com– Rusia telah mengumumkan keadaan darurat federal sebagai respons terhadap tumpahan minyak yang sedang berlangsung di Selat Kerch. Menteri Situasi Darurat Rusia, Aleksandr Kurenkov, mengumumkan hal ini pada 26 Desember. Kejadian ini bermula ketika dua tanker minyak Rusia, Volgoneft 212 dan Volgoneft 239, mengalami kerusakan parah akibat badai pada 15 Desember. Kedua kapal tersebut dilaporkan membawa sekitar 4.000 ton bahan bakar, yang mulai bocor ke Laut Hitam.
“Saya mengusulkan untuk mengklasifikasikan situasi darurat yang disebabkan oleh kecelakaan tanker di Selat Kerch sebagai situasi darurat yang bersifat federal dan menetapkan tingkat respons federal,” kata Kurenkov pada 26 Desember. Dengan pengumuman ini, dana negara Rusia akan dialokasikan untuk respons darurat dan upaya pembersihan.
Menurut outlet berita negara Rusia, RIA Novosti, sekitar 3.700 ton minyak bakar berkualitas rendah telah tumpah ke Selat Kerch. Ilmuwan Rusia, Viktor Danilov-Danilyan, menyatakan dalam konferensi pers pada 25 Desember bahwa sekitar 200.000 ton tanah di sepanjang pantai Laut Hitam telah terkontaminasi. Selat Kerch memisahkan daratan Rusia dari Crimea yang diduduki Rusia.
Greenpeace Ukraina memperingatkan pada 16 Desember bahwa kerusakan pada tanker minyak Rusia dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang “signifikan”. “Setiap tumpahan minyak atau petrokimia di perairan ini memiliki potensi untuk menjadi serius,” kata kepala Laboratorium Penelitian Greenpeace, Dr. Paul Johnston, dalam sebuah pernyataan.
Pada bulan Oktober, Institut Sekolah Ekonomi Kyiv memperingatkan bahwa “armada bayangan” Rusia yang terdiri dari tanker-tanker tua dan tidak diasuransikan dengan baik menimbulkan risiko lingkungan yang signifikan, karena kapal-kapal ini meningkatkan bahaya tumpahan minyak. Perang skala penuh Rusia melawan Ukraina telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang besar, termasuk penghancuran Bendungan Nova Kakhovka dan banjir yang menyusul, kebakaran hutan yang meluas, serta kehancuran lahan pertanian yang luas.
Kaitan Tumpahan Minyak di Selat Kerch dengan Regulasi di Indonesia
Tumpahan minyak yang terjadi di Selat Kerch, Rusia, memberikan pelajaran penting bagi Indonesia mengenai penanganan pencemaran di perairan. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki regulasi yang jelas untuk menangani tumpahan minyak dan bahan kimia di perairan dan pelabuhan, yaitu Peraturan Menteri Perhubungan (PM) 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan. Regulasi ini dikeluarkan untuk melindungi kelestarian lingkungan perairan dan mencegah kerugian ekonomi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tersebut.
PM 58 menetapkan tata cara penanganan dan penyelesaian tumpahan minyak dan bahan kimia yang harus dilakukan oleh perusahaan yang bertanggung jawab atas insiden tersebut. Dalam hal ini, perusahaan yang terlibat dalam kegiatan pengangkutan minyak dan bahan kimia diwajibkan untuk memiliki rencana penanganan yang telah disetujui oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan upaya Rusia yang kini mengarahkan dana negara untuk respons darurat dan pembersihan akibat tumpahan minyak di Selat Kerch.
Lebih lanjut, PM 58 juga mengatur sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi tata cara penanganan tumpahan. Sanksi tersebut dapat berupa pembayaran denda, pencabutan izin usaha, hingga pembekuan kegiatan usaha. Sanksi yang diberikan bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan, sehingga semakin besar dampak pencemaran yang ditimbulkan, semakin berat pula sanksi yang akan diterima. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki mekanisme yang ketat untuk memastikan bahwa perusahaan bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan mereka.
Selain itu, PM 58 juga mengatur tentang pencemaran yang disebabkan oleh berbagai kegiatan usaha, termasuk pengangkutan laut dan pembuangan sisa pertambangan. Dengan demikian, regulasi ini tidak hanya berfokus pada tumpahan minyak, tetapi juga mencakup berbagai aspek pencemaran yang dapat merusak ekosistem perairan.
Secara keseluruhan, regulasi yang ada di Indonesia, seperti PM 58, sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan perairan dan pelabuhan. Hal ini sejalan dengan upaya global untuk mengurangi dampak pencemaran dan melindungi ekosistem, serta mencegah kerugian ekonomi bagi masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut. Dengan adanya regulasi yang ketat, diharapkan Indonesia dapat menghindari insiden serupa yang terjadi di Selat Kerch dan menjaga keberlanjutan lingkungan perairan.
Sanksi bagi pelanggar yang tidak mematuhi Peraturan Menteri Perhubungan (PM) 58 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Pencemaran di Perairan dan Pelabuhan di Indonesia dapat berupa:
- Pembayaran Denda: Perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan dapat dikenakan denda sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
- Pencabutan Izin Usaha: Izin usaha perusahaan dapat dicabut jika terbukti melakukan pelanggaran yang serius.
- Pencabutan Izin Operasi: Izin untuk melakukan operasi tertentu dapat dicabut sebagai sanksi atas pelanggaran.
- Pembatalan Izin Usaha: Izin usaha yang telah diberikan dapat dibatalkan jika perusahaan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
- Pembatalan Izin Operasi: Izin operasi yang diberikan kepada perusahaan dapat dibatalkan jika terjadi pelanggaran.
- Pembatasan Kegiatan Usaha: Kegiatan usaha perusahaan dapat dibatasi atau dihentikan sementara waktu.
- Pembekuan Kegiatan Usaha: Kegiatan usaha perusahaan dapat dibekukan jika terbukti melakukan pelanggaran yang merugikan lingkungan.
Sanksi yang diberikan akan disesuaikan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin besar dampak pencemaran yang ditimbulkan, semakin berat pula sanksi yang akan dikenakan. Regulasi ini bertujuan untuk mendorong perusahaan agar bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian lingkungan perairan dan pelabuhan.
Proses pengaduan pelanggaran terkait pencemaran di perairan dan pelabuhan di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) 58 Tahun 2013, umumnya melibatkan beberapa langkah sebagai berikut:
- Pengumpulan Bukti: Pengadu harus mengumpulkan bukti-bukti yang mendukung klaim pelanggaran, seperti foto, video, atau dokumen yang menunjukkan adanya tumpahan minyak atau pencemaran lainnya.
- Penyampaian Pengaduan: Pengadu dapat menyampaikan laporan atau pengaduan kepada instansi yang berwenang, seperti Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan setempat, atau lembaga lingkungan hidup. Pengaduan dapat dilakukan secara langsung, melalui surat resmi, atau melalui platform pengaduan yang disediakan oleh pemerintah.
- Pendaftaran Pengaduan: Setelah pengaduan diterima, instansi yang berwenang akan mendaftarkan pengaduan tersebut dan memberikan nomor registrasi sebagai tanda terima.
- Investigasi: Instansi yang berwenang akan melakukan investigasi terhadap pengaduan yang diajukan. Ini termasuk pemeriksaan lokasi, pengumpulan informasi tambahan, dan wawancara dengan saksi atau pihak terkait.
- Penilaian dan Tindakan: Berdasarkan hasil investigasi, instansi akan menilai apakah pelanggaran benar-benar terjadi. Jika ditemukan bukti pelanggaran, instansi akan mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, termasuk memberikan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab.
- Pelaporan Hasil: Setelah proses investigasi dan penilaian selesai, instansi yang berwenang akan menyampaikan hasilnya kepada pengadu. Jika ada tindakan yang diambil, pengadu juga akan diinformasikan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh instansi.
- Tindak Lanjut: Jika pengadu merasa tidak puas dengan hasil investigasi atau tindakan yang diambil, mereka dapat mengajukan banding atau melaporkan kembali kepada instansi yang lebih tinggi.
Proses ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap peraturan penanggulangan pencemaran di perairan dan pelabuhan dapat ditangani secara efektif dan transparan, serta memberikan perlindungan bagi lingkungan dan masyarakat yang terdampak.
Dalam proses pengaduan pelanggaran terkait pencemaran di perairan dan pelabuhan, beberapa bukti yang diperlukan untuk mendukung klaim pelanggaran antara lain:
- Dokumentasi Foto dan Video:
- Foto atau video yang menunjukkan adanya tumpahan minyak, limbah, atau pencemaran lainnya di perairan atau pelabuhan.
- Gambar yang memperlihatkan dampak pencemaran terhadap lingkungan sekitar, seperti kerusakan ekosistem, hewan yang terkontaminasi, atau kondisi air yang tercemar.
- Laporan Resmi:
- Laporan dari instansi pemerintah atau lembaga lingkungan hidup yang menyatakan adanya pencemaran atau pelanggaran.
- Dokumen yang menunjukkan hasil pengujian kualitas air atau tanah yang terkontaminasi.
- Saksi Mata:
- Pernyataan atau kesaksian dari individu yang menyaksikan kejadian pencemaran, seperti nelayan, warga sekitar, atau pekerja di pelabuhan.
- Kontak informasi saksi yang dapat dihubungi untuk memberikan keterangan lebih lanjut.
- Data dan Rekaman:
- Data dari alat pengukur kualitas air yang menunjukkan adanya pencemaran, seperti kadar minyak, bahan kimia berbahaya, atau parameter lingkungan lainnya.
- Rekaman CCTV atau video pengawasan yang menunjukkan aktivitas yang mencurigakan atau pelanggaran yang terjadi.
- Dokumen Perizinan:
- Salinan izin usaha atau izin operasi dari perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran, untuk menunjukkan apakah mereka beroperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Bukti bahwa perusahaan tidak mematuhi rencana penanganan pencemaran yang telah disetujui.
- Laporan Kerugian:
- Dokumen yang menunjukkan kerugian ekonomi yang dialami oleh masyarakat atau nelayan akibat pencemaran, seperti laporan pendapatan yang hilang atau kerusakan pada alat tangkap ikan.
- Surat Pengaduan:
- Surat resmi yang menyatakan pengaduan, yang mencakup rincian tentang kejadian, lokasi, waktu, dan pihak yang diduga bertanggung jawab.
Pengumpulan bukti yang lengkap dan jelas sangat penting untuk mendukung pengaduan dan memastikan bahwa tindakan yang tepat dapat diambil oleh instansi yang berwenang.
Catatan
Peristiwa tumpahan minyak yang terjadi di Selat Kerch, Rusia, menyoroti pentingnya penanganan yang cepat dan efektif terhadap insiden pencemaran di perairan. Tumpahan minyak tidak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga berdampak negatif pada ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut. Dalam konteks ini, peran serta berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga lingkungan, masyarakat, dan perusahaan swasta, sangatlah krusial.
Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia merupakan salah satu perusahaan swasta yang profesional dalam menangani tumpahan minyak. Dengan pelatihan yang diakreditasi dan disertifikasi sesuai standar internasional, OSCT Indonesia memiliki kemampuan untuk memberikan respons yang cepat dan efektif terhadap insiden pencemaran. Melalui program pelatihan IMO Level 1, 2, dan 3, OSCT Indonesia tidak hanya mempersiapkan responder untuk menangani keadaan darurat, tetapi juga membangun kapasitas manajerial yang diperlukan untuk mengelola operasi penanggulangan tumpahan minyak secara efektif.
- Peningkatan Kerja Sama: Diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, OSCT Indonesia, dan stakeholder lainnya untuk memastikan kesiapsiagaan dan respons yang cepat terhadap insiden pencemaran. Kerja sama ini dapat mencakup pelatihan bersama, simulasi, dan pengembangan rencana kontinjensi yang komprehensif.
- Pendidikan dan Pelatihan: Penting bagi perusahaan yang beroperasi di sektor minyak dan kimia untuk mengikuti pelatihan yang disediakan oleh OSCT Indonesia. Pelatihan ini akan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan staf dalam menangani tumpahan minyak, sehingga dapat meminimalkan dampak lingkungan dan ekonomi.
- Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam upaya penanggulangan pencemaran. Edukasi mengenai dampak pencemaran dan cara melaporkan insiden dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan responsif terhadap pencemaran.
- Penguatan Regulasi: Pemerintah perlu terus memperkuat regulasi terkait penanggulangan pencemaran di perairan dan pelabuhan, serta memastikan bahwa sanksi bagi pelanggar diterapkan secara konsisten. Hal ini akan mendorong perusahaan untuk lebih bertanggung jawab dalam operasional mereka.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat lebih siap dalam menghadapi potensi tumpahan minyak dan menjaga kelestarian lingkungan perairan, serta melindungi ekonomi masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut. (*)