Jakarta, Portonews.com : Pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati, terutama di tingkat spesies dan genetik, selama ini dianggap sebagai “cost center” yang memerlukan investasi besar dalam upaya perlindungan dan pelestariannya. Namun, berbagai kajian menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati sebenarnya memiliki potensi sebagai sumber dana berkelanjutan, didukung oleh kemajuan teknologi dan minat internasional terhadap produk alami. Hal ini membuka peluang besar bagi Indonesia dalam mengembangkan pemanfaatan sumber daya alam hayati (SDAH) sebagai potensi ekonomi dan mengubah cara pandang pengelolaan keanekaragaman hayati menjadi “profit center.”
Isu ini menjadi fokus utama dalam Konferensi Para Pihak untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati di Cali, Kolombia, dua minggu terakhir, terutama terkait mekanisme berbagi keuntungan dari informasi genetik yang terdigitalisasi atau Digitally Sequenced Genetic Information (DSI), yang berpotensi menjadi sumber pendanaan. Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1990 dan UU No. 32 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari UU sebelumnya, diperlukan pembiayaan berkelanjutan untuk mendukung bisnis berbasis pemanfaatan SDAH secara lestari, sehingga dapat menyatukan kepentingan ekonomi dengan kelestarian alam.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Prof. Satyawan Pudyatmoko, dalam sebuah diskusi media di Jakarta (5/11) menyampaikan bahwa “Potensi pembiayaan berkelanjutan melalui pemanfaatan SDAH sangat besar, sehingga perlu dirumuskan skema kelembagaan yang jelas, dan pendanaan berkelanjutan diatur dalam kebijakan teknis yang mencakup seluruh rantai bisnis, baik hulu maupun hilir. Aturan ini nantinya bisa menjadi panduan dalam program-program percontohan di lapangan, mencakup pengelolaan wisata alam, pemanfaatan sumber daya genetik, dan upaya restorasi ekosistem.”
Menurut Satyawan, dibutuhkan regulasi komprehensif mengenai pendanaan berkelanjutan yang mengusung mekanisme berbagi keuntungan secara adil dalam rangka mendukung pengelolaan SDAH. Penyusunan aturan ini sedang dikembangkan melalui serangkaian diskusi kelompok terfokus (FGD), kajian potensi sumber pendanaan, dan pembentukan model berbagi keuntungan dalam bisnis konservasi keanekaragaman hayati.
Proses ini adalah bagian dari penyusunan Naskah Akademik untuk Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2024. Kajian ilmiah dalam Naskah Akademik ini berupaya memanfaatkan pelajaran dari berbagai negara untuk menciptakan regulasi pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Staf Ahli Menteri Bidang Pangan, Indra Exploitasia, menambahkan bahwa pengembangan uji coba pembiayaan berkelanjutan dan mekanisme berbagi keuntungan bertujuan untuk memastikan pembagian hasil yang adil dalam bisnis terkait konservasi SDAH. Upaya ini akan membantu memastikan adanya alokasi anggaran khusus (budget tagging) yang mendukung program konservasi keanekaragaman hayati.
“Hal ini penting untuk memastikan bahwa alokasi dana disalurkan secara tepat untuk program konservasi jangka panjang. Salah satu model yang dikembangkan adalah di Landscape-Seascape Flores Barat dan Utara dengan proyek IN-FLORES KLHK-UNDP-GEF, serta model bisnis di Aceh oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bekerja sama dengan pemerintah melalui Ditjen KSDAE,” ujar Indra dalam diskusi media bersama Dirjen KSDAE di Jakarta, Selasa (11/5).
Sebagai informasi tambahan, proses penyusunan naskah regulasi ini mencakup beberapa FGD, termasuk diskusi pada 26 September 2024 mengenai mekanisme berbagi keuntungan, yang melibatkan organisasi nasional dan internasional seperti UNEP, UNDP, GIZ, dan Global Green Growth. Kemudian, pada 10 Oktober 2024, dilaksanakan FGD lanjutan tentang model berbagi keuntungan berkeadilan untuk pendanaan SDAH.
Wakil Menteri LHK, Alue Dohong, dalam FGD tersebut menyatakan bahwa “Mandat KM-GBF (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework) mendorong mobilisasi dana hingga USD 200 juta per tahun dari negara-negara maju, yang harus diikuti dengan pengembangan model pendanaan yang memadai.
“Ini adalah momen penting bagi Indonesia untuk mengembangkan regulasi pendanaan berkelanjutan sebagai bagian dari rencana aksi nasional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati,” ungkap Alue Dohong.
Sementara itu, Plt. Sekretaris Jenderal LHK, Dr. Ir. Bambang Hendroyono, M.M., menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari penyusunan Naskah Akademik untuk Rancangan Peraturan Pemerintah turunan UU No. 32 Tahun 2024. Naskah Akademik ini didasarkan pada kajian ilmiah, sehingga referensi dari pengalaman internasional akan memperkaya regulasi pendanaan berkelanjutan untuk pembiayaan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.