Jakarta, Portonews.com – Mahkamah Konstitusi (MK) gelar sidang pertama untuk menguji keabsahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 yang mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sidang ini berlangsung di Ruang Sidang MK, dengan perkara yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan seorang petani bernama Mikael Ane.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, memimpin sidang yang dihadiri oleh kuasa hukum para pemohon, Gregorius Bruno Djako. Dalam penyampaian argumennya, Gregorius menegaskan bahwa pembentukan UU 32/2024 tidak memberikan manfaat nyata dan tidak berdaya guna, khususnya bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi subjek hukum. “Pembentukan UU 32/2024 tidaklah bermanfaat, tidak berdaya guna dan tidak memiliki kehasilgunaan,” ujarnya.
Gregorius menjelaskan bahwa pengabaian terhadap pihak-pihak yang terdampak menyebabkan UU ini kehilangan tujuan yang jelas. Menurutnya, pemahaman ekosistem dalam UU ini tidak menyentuh kebutuhan masyarakat adat yang hidup di sekitar kawasan konservasi. “Hal ini justru membuka lebih banyak celah terjadinya potensi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal,” tambahnya.
Ia juga mengkritik bahwa UU 32/2024 tidak mencerminkan kebijakan konservasi yang adil dan inklusif, serta tetap mempertahankan sentralisasi kewenangan. “UU 32/2024 semakin menegaskan sentralisasi kewenangan penyelenggara dan abai terhadap pemenuhan hak asasi manusia,” ujar Gregorius, menekankan potensi konflik yang mungkin muncul antara masyarakat dan pemerintah.
Lebih lanjut, Gregorius menyatakan pentingnya melibatkan masyarakat adat dan lokal dalam proses pembentukan undang-undang. “Proses pembentukan UU 32/2024 perlu lebih mengakomodasi masukan dari masyarakat adat dan lokal yang akan terkena dampak langsung,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa partisipasi yang bermakna dalam pembuatan undang-undang harus menjadi prinsip utama, agar undang-undang ini dapat efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat serta lingkungan.
Para pemohon juga menyoroti bahwa terdapat ketentuan dalam UU 32/2024 yang berpotensi mendiskriminasikan masyarakat adat, khususnya terkait hak atas hutan adat yang dijamin oleh UUD 1945. Dalam petitumnya, mereka meminta Mahkamah untuk menyatakan UU 32/2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, mereka juga memohon agar UU 5/1990 dan beberapa pasal lain dapat berlaku kembali.
Sidang ini akan dilanjutkan dalam jadwal berikutnya, di mana MK akan mempertimbangkan argumen dan bukti yang diajukan oleh para pemohon dan pihak terkait lainnya.