Jakarta, Portonews.co – Pengawasan pemerintah terhadap pencemaran di Sungai Brantas menuai kritik. Temuan dari Ecoton pada tahun 2024 menunjukkan bahwa sepuluh industri telah berkontribusi signifikan terhadap pencemaran sungai, dengan membuang limbah tanpa pengolahan. Hal ini mencerminkan kurangnya komitmen pemerintah dalam menjaga lingkungan dan penegakan hukum terhadap pelanggar.
Dalam beberapa hari terakhir, dilakukan identifikasi sumber pencemaran di Sungai Brantas, dan hasilnya menunjukkan bahwa banyak industri belum mengelola limbahnya dengan baik. Terdapat kandungan besi (Fe) mencapai 88,25 ppm dan Total Dissolved Solids (TDS) sebanyak 28.500 ppm yang mengalir ke Kali Surabaya, anak sungai Brantas.
“Air yang dikonsumsi dengan kadar Fe yang tinggi bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan biota lainnya, ini bisa mengakibatkan kerusakan organ seperti hati atau jantung. Sementara, mengonsumsi air dengan TDS tinggi dalam jangka panjang bisa meningkatkan risiko gangguan ginjal dan penyakit kardiovaskular, karena banyak mineral atau polutan berbahaya seperti logam berat yang terkandung dalam air,” tegas Alaika, seorang peneliti ekologi akuatik.
Indonesia menghadapi masalah serius terkait kepunahan ikan air tawar, di mana negara kita menjadi yang tercepat kedua setelah Filipina. Menurut laporan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2023, sekitar 35% spesies ikan air tawar di Indonesia terancam punah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan bahwa sekitar 60% sungai di Indonesia mengalami pencemaran berat akibat limbah industri dan domestik, yang berdampak langsung pada kualitas air dan kesehatan ikan. Data dari Ecoton tahun 2023 menunjukkan bahwa populasi tujuh jenis ikan lokal di Kali Surabaya mengalami penurunan drastis dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Dilansir dari laman ecoton.or.id, Kondisi Sungai Brantas semakin parah dengan meningkatnya jumlah sampah plastik, terutama plastik sekali pakai dan popok. Sekitar 1,5 juta popok dibuang setiap harinya ke sungai dan anak-anak sungainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 90% ikan yang hidup di Sungai Brantas terkontaminasi mikroplastik. Sampah plastik tersebar di berbagai titik dari Mlirip Mojokerto hingga Bambe Kabupaten Gresik, dengan lebih dari 368 bangunan ilegal berdiri di bantaran sungai.
“Pemerintah Provinsi Jawa Timur gagal dalam melakukan pengawasan terhadap industri-industri pencemar di Sungai Brantas. Tahun 2024, marak ditemukan industri membuang limbah tanpa diolah, membuat ikan-ikan di Sungai Brantas mabuk dan mati, menjadikan Indonesia negara dengan laju kepunahan ikan tercepat kedua setelah Filipina,” seru 30 aktivis dari Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton Foundation) dalam aksi teatrikal di Gedung Negara Grahadi Jawa Timur.
Aksi ini bertujuan mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur agar segera melakukan pengawasan ketat dan penertiban terhadap sumber pencemaran di Sungai Brantas, serta memulai proses rehabilitasi ekosistem yang rusak. Temuan terbaru tentang ikan yang “munggut” atau mabuk akibat pencemaran pada 2 September 2024 di Wonokromo Surabaya semakin memperburuk kondisi sungai ini.
Tingginya jumlah mikroplastik di Sungai Brantas sebagian besar berasal dari limbah cair pabrik kertas, limbah cair pabrik daur ulang plastik, serta limbah cair domestik yang tidak diolah. Padahal, Sungai Brantas merupakan sumber bahan baku air PDAM. Air sungai yang terkontaminasi mikroplastik dan limbah pabrik berpotensi masuk ke rantai makanan manusia, mengganggu metabolisme tubuh dan sistem hormon. Dampak jangka panjangnya dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker dan diabetes melitus.
“Senyawa kimia dari limbah pabrik juga dapat mengganggu kesehatan biota sungai, menyebabkan intersex dan berpotensi menurunkan populasi ikan di Sungai Brantas,” ungkap Rafika Aprilianti, Kepala Laboratorium Ecoton.
Dalam aksi tersebut, aktivis meminta gubernur untuk segera merealisasikan pemulihan ekosistem Sungai Brantas. Prigi Arisandi, pendiri Yayasan Ecoton, menegaskan pentingnya pengawasan dan rehabilitasi ekosistem sungai. “Masyarakat berharap Sungai Brantas dapat kembali menjadi sumber kehidupan yang bersih dan lestari. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat dan dunia usaha,” ujarnya.
Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menolak kasasi terkait kasus ikan mati yang diajukan Gubernur Jawa Timur dan Menteri PUPR, mewajibkan keduanya untuk melaksanakan sepuluh putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya.
Pemerintah harus mengambil tindakan tegas untuk memastikan bahwa pencemaran di Sungai Brantas segera ditangani, demi menjaga keberlanjutan ekosistem dan kesehatan masyarakat.