Jakarta, Portonews.com – Dalam upaya menghadapi tantangan kebijakan lingkungan global, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya terus melakukan diskusi penting mengenai implementasi European Union Green Deal (EUGD).
Salah satu pembahasan utama adalah dampak kebijakan Uni Eropa yang melarang ekspor komoditas yang berasal dari hasil deforestasi, termasuk kelapa sawit, yang menjadi salah satu komoditas utama Indonesia.
Kepala Pusat Riset Politik BRIN, Athiqah Nur Alami, menjelaskan bahwa diskusi ini sangat relevan, mengingat Indonesia merupakan eksportir kelapa sawit terbesar. “Kebijakan EU tidak akan mengekspor komoditas yang berasal dari hasil deforestasi. Oleh karena itu, workshop ini sangat penting, karena kita akan membahas langkah-langkah antisipasi atau respons yang perlu diambil oleh negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dalam menghadapi kebijakan tersebut,” ungkap Athiqah.
Athiqah berharap, pascaseminar, para peneliti yang tertarik dengan isu ini dapat berkolaborasi untuk mengembangkan proposal riset bersama dan mendapatkan pendanaan untuk penelitian lebih lanjut.
Pada Desember 2019, Uni Eropa merilis EUGD dengan tujuan mengurangi emisi karbon menjadi nol pada 2050 dan mulai diberlakukan pada 2030. Kebijakan ini berpotensi memengaruhi negara-negara ASEAN, terutama Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor komoditas alam.
Kepala OR IPSH BRIN Ahmad Najib Burhani, menilai bahwa EUGD membawa kontroversi namun juga peluang bagi Indonesia. “Kami membahas kontroversi serta peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini berpotensi meningkatkan perekonomian Indonesia dan membuka peluang kolaborasi dengan negara-negara Barat untuk menjaga kelestarian planet ini,” ujarnya di Bogor (3/12).
Workshop ini melibatkan berbagai universitas dan lembaga riset Indonesia serta negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan beberapa negara Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Norwegia. Melalui diskusi ini, diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi pemerintah dalam menyikapi berbagai isu terkait EUGD.
Sementara itu, Guru Besar Ekologi Politik Institut Pertanian Bogor, Arya Hadi Dharmawan, mengungkapkan bahwa EUGD menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia dapat menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan. “Diskusi ini tidak hanya berfokus pada analisis politik, tetapi kami juga berharap dapat menjembatani berbagai disiplin ilmu para peneliti dan memperluas jaringan riset kolaboratif,” ujar Arya.
Profesor Otto Hospes dari Wageningen University, Belanda, juga menambahkan bahwa diskusi ini sangat penting untuk menyelaraskan dan mengembangkan gagasan terkait EUGD di antara negara-negara ASEAN dan Eropa. Hal ini diharapkan dapat memperkuat kolaborasi dan koordinasi dalam implementasi kebijakan green economy.
“BRIN memiliki peran yang sangat penting dalam menjembatani kerja sama antara peneliti secara regional dan internasional, serta mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dalam menghadapi kebijakan ekonomi hijau,” tutur Otto.
Dalam laporannya, Dini Suryani, peneliti Pusat Riset Politik BRIN dan ketua panitia seminar, menyampaikan bahwa workshop ini bertujuan untuk menggali wawasan tentang tindakan yang diambil oleh berbagai aktor, termasuk pemerintah, lembaga ilmiah, dan masyarakat sipil, dalam debat terkait EUGD dan ASEAN. “Diharapkan, workshop ini dapat menghasilkan publikasi ilmiah internasional yang menjadi referensi penting dalam diskusi global mengenai EUGD dan transisi menuju energi berkelanjutan,” tambah Dini.
Dengan semakin mendalamnya diskusi ini, diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan peluang dari EUGD dan menghadapi tantangan yang muncul dengan langkah-langkah yang lebih terarah dan berbasis kolaborasi internasional.