Jakarta, Portonews.com – Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan wilayah laut yang sangat luas, mencakup lebih dari 5,8 juta kilometer persegi atau tiga perempat dari total wilayah negara. Wilayah laut ini meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), laut teritorial, dan wilayah lainnya yang berada dalam yurisdiksi Indonesia. Luasnya wilayah laut ini menjadikan Indonesia rentan terhadap berbagai kejahatan transnasional seperti illegal fishing, penyelundupan barang dan manusia, narkoba, terorisme, serta pembajakan.
Untuk menangani tantangan ini, Indonesia melakukan berbagai upaya penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan terhadap pelanggaran hukum di perairannya. Salah satu langkah penting yang diambil adalah mewajibkan semua kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia untuk memasang dan mengaktifkan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS).
Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia.
Muazam Nugroho, periset dari Pusat Riset Teknologi Satelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa AIS adalah teknologi yang digunakan untuk memantau lalu lintas kapal di seluruh dunia. AIS beroperasi pada kanal Very High Frequency (VHF) dengan frekuensi 161.975 MHz dan 162.025 MHz untuk mengirim dan menerima informasi spesifik terkait kapal di laut secara otomatis.
Dilansir dari laman resmi BRIN, Muazam mengatakan “AIS berfungsi untuk memonitor aktivitas maritim yang berkaitan dengan lalu lintas kapal di laut,” , Senin (10/6). AIS secara terus menerus mengirimkan data kapal seperti nama dan jenis kapal, Maritime Mobile Services Identities (MMSI), nomor IMO, tanda panggilan (call sign), kebangsaan kapal, bobot kapal, spesifikasi kapal, status navigasi, titik koordinat, tujuan berlayar dengan perkiraan waktu tiba, kecepatan, dan haluan kapal.
AIS menggunakan sistem Time Division Multiple Access (TDMA), yang memungkinkan pengiriman sekitar 2000 pesan per menit. Pesan dari perangkat AIS dapat diterima oleh kapal lain, stasiun penerima AIS berbasis darat, dan stasiun penerima AIS berbasis satelit. “AIS yang dibawa ke luar angkasa memiliki keunggulan dalam radius penerimaan pesan karena ketinggiannya,” tambah Muazam.
Pemanfaatan AIS menjadi salah satu latar belakang misi satelit LAPAN-A2 dan LAPAN-A3 untuk memantau kapal di Indonesia. Misi ini juga diterapkan pada satelit Nusantara Earth Observation-1 (NEO-1) dan Nusantara Equatorial IoT (NEI). Data AIS dari satelit-satelit ini turut berkontribusi dalam penjagaan dan pengawasan perairan Indonesia. Data ini digunakan oleh berbagai pihak seperti ISRO (Badan Antariksa India), The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Indonesia Office, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Keamanan Laut, Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta internal BRIN.
Beberapa contoh kasus yang dibantu oleh Pusat Riset Teknologi Satelit termasuk pencarian Kapal Brahma-12 yang anak buah kapalnya diculik oleh perompak pada Maret 2016, serta penyajian data lintasan Kapal MV Lyric Poet yang kandas di Laut Natuna pada Maret 2017. Selain itu, data AIS juga membantu dalam kasus kapal yang merusak terumbu karang di Raja Ampat, kapal yang kandas di Belitung Timur, pelacakan kapal untuk monitoring orbit satelit, pencarian kapal yang dibajak perompak, serta deteksi tumpahan minyak dan kapal misterius di perairan Indonesia.