Jakarta, Portonews.com – Dalam upaya mendorong pemanfaatan potensi ekonomi kelautan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Ekonomi Biru: Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Rumput Laut dan Garam” di Gedung BJ. Habibie, Jakarta, Rabu (30/10). Kegiatan ini menjadi ajang diskusi penting untuk mengatasi tantangan transformasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sektor kelautan.
Asisten Deputi Pengembangan Kawasan dan Rantai Pasok Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Ali Alkatiri, dalam pemaparannya, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki potensi ekonomi kemaritiman yang luar biasa, mencakup 11 sektor dengan nilai sekitar USD 1,4 triliun. “Potensi ini dapat memberikan kesempatan kerja bagi 45 juta orang,” ungkap Ali dengan semangat.
Ia menjelaskan, ke-11 sektor tersebut meliputi perikanan tangkap, budidaya, industri pengelolaan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata bahari, serta transportasi laut. Namun, meskipun potensi ini besar, tantangan serius mengintai. Ali mengingatkan bahwa Indonesia mengalami penurunan dalam potensi pertumbuhan ekonomi, sebagian besar disebabkan oleh de-industrialisasi dini. “Kita terjebak dalam middle income trap selama 30 tahun, dari 1993 hingga 2022,” jelasnya, merujuk pada kebutuhan mendesak akan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Transformasi yang dimaksud, menurut Ali, termasuk hilirisasi dan industrialisasi UMKM. Saat ini, jumlah total koperasi dan UMKM di Indonesia mencapai 127.124 unit, dengan usaha mikro mendominasi sebanyak 99,62%. Namun, struktur ini menciptakan piramida ekonomi yang kurang sehat. “Ini sangat disayangkan, karena kita seharusnya bisa meningkatkan nilai tambah bagi produk-produk tersebut,” tambahnya.
Ali juga menjelaskan tantangan yang dihadapi oleh UMKM di sektor kelautan, khususnya terkait pengolahan garam dan rumput laut. Indonesia adalah produsen kedua terbesar rumput laut di dunia, dengan ekspor mencapai 231.829 ton, setara dengan USD 397,16 juta. Sayangnya, sebagian besar diekspor dalam bentuk bahan baku, sehingga nilai produk tetap rendah. “Lahan rumput laut yang dimanfaatkan di Indonesia juga masih belum optimal,” ujarnya.
Ali menekankan pentingnya strategi hilirisasi dan pengelolaan terpadu bagi UMKM, termasuk penyediaan akses bahan baku, alat produksi bersama, dan pengembangan sumber daya manusia. “Perluasan akses pasar dan kemitraan usaha juga sangat penting, begitu pula dengan regulasi dan pendataan UMKM,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi sorotan penting dalam pengembangan ekonomi biru, dengan harapan dapat membuka peluang lebih luas bagi pengusaha lokal, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberadaan potensi yang melimpah ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk membawa Indonesia menuju pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.