Seorang teman menuliskan tanggapannya di kolom Facebook saya ketika saya menulis di Lini Masa tentang semua agama berasal dari Tuhan yang sama.
Begini tanggapannya: ” Tuhan adalah hasil imajinasi yang melewati batas kemampuan kita. Kita yang menciptakan-Nya, bukan sebaliknya. Bahwa agama hanyalah ciptaan manusia, tidak ada kaitannya dengan pewahyuan, tak ada kaitannya dengan yang bersifat adikodrati”. Dan banyak lagi yang tak dapat saya tuliskan di sini.
Tulisan ini adalah reply saya kepadanya. Hari ini saya unggah ke Timeline saya setelah membaca banyaknya tulisan semacam ini.
Kalau saya boleh bertanya, mana yang lebih dahulu, spesies manusia atau alam semesta?
Ada atau tidak adanya spesies manusia, jagad raya ini sudah ada dengan segala sistem dan cara kerjanya. Anda percaya atau tidak kepada Tuhan, alam semesta –sebagai perwujudan dari Diri-Nya– terus akan bekerja dengan kebakuan sistemnya.
Dalam evolusi siklusnya, sampailah kini semesta berada di suatu titik perjalanan, dimana ia mulai menyibakkan dirinya untuk dikenali dan diketahui sistem dan tata cara kerjanya. Semesta menyapa manusia, yang memang di otaknya sudah dibekali kemampuan untuk menangkap isyaratnya, itulah yang disebut intuisi.
Kata Einstein:” Kecerdasan tidak banyak berperan dalam proses penemuan. Ada satu lompatan dalam proses kesadaran, sebutlah itu intuisi atau apa pun namanya, solusinya muncul begitu saja, dan kita tidak tahu mengapa dan bagaimana”. (Albert Einstein)
Intuisi itulah cikal bakalnya pengetahuan. Sedangkan ada dan bisa berkembangnya penemuan teori-teori baru pengetahuan, itu karena ada hukum alam yang sudah tersedia dan bisa dipelajari oleh manusia.
Bentukan rumus-rumus dan teori
tak lepas dari idealisme mutlak, yang mengidealkan pendapat bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat pada susunan alam. Sedangkan teori-teori, rumus-rumus, peraturan dan bentuk pengetahuan dibentuk oleh watak dunia itu sendiri.
Dari penemuan sains itulah, kini segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini dapat dijelaskan hukum sebab akibatnya secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tapi mosok dengan bermodalkan bahwa segala sesuatu itu kini sudah bisa dijelaskan, lalu bisa menafikan keberadaan Tuhan?
Jangan-jangan para saintis atheis itu memahami Tuhan sebagaimana juga kebanyakan kaum beragama memahami Tuhan. Yaitu sebagai suatu sosok personal yang berdiri sendiri dan terlepas dari alam, yang kemudian mencipta jagad raya secara sim salabim dari ketiadaan.
Definisi dan konsepsi Tuhan yang personal, yang kemudian menciptakan alam semesta dari ketiadaan pada suatu masa, memang sulit meletakannya dalam bingkai dan tata cara kerja sains, yang tidak membicarakan penciptaan. Dalam perspektif sains, keberadaan alam semesta sebagai sebuah proses evolusi yang sangat panjang yang terus beregulasi dalam keabadian, sebagaimana hukum kekekalan energi.
Akan halnya Spiritualisme Surga, ia mengajarkan bahwa multi semesta adalah perwujudan dari Tuhan itu sendiri. Karena itu, ia sudah semula jadi dan ada dalam keabadian. Dan Ruh Ilahiah itu berada dalam setiap gerakan partikel dari yang sub-atomik hingga perputaran galaksi. Dia berada dalam setiap persenyawaan di alam semesta dari yang terkecil hingga tak terhingga besarannya. Dia berada di setiap ledakan bigbang bintang ataupun ledakan blackhole, Dia berada di balik kompleksitas energi dalam gelombang quantum.
Dengan kata lain, Tuhan adalah alam semesta itu sendiri sebagai satu kesatuan wujud. Dan baik yang materi maupun yang imateri, itu berada dalam satu kesatuan yang tak terpilahkan.
Sedangkan, spesies manusia hanyalah salah satu unsur dari partikularitas di alam semesta raya yang tak terhingga banyaknya. Menurut hitungan, konon Matahari kita ini besarannya 1.2 juta kali Bumi. Tapi di jagat raya ini, Matahari kita ini bak atom di antara galaksi yang juga tak terhingga banyaknya. Dan kesemuanya itu ada di dalam Tuhan.
Kesimpulannya, dengan segala pencapaiannya, manusia tak akan pernah dapat melihat di mana posisi Tuhan dalam proses penciptaan karena ia adalah keseluruhan dari yang tak berujung.
Maka mari kita berendah hati, tidak berambisi melihat wujud Tuhan karena Tuhan adalah keseluruhan dari perwujudan multisemestaNya yang tak terhingga, dari yang terkecil hingga yang tak terhingga besarannya.
Jangankan untuk mengetahui keseluruhannya, mengetahui yang terkecil saja sebagaimana sistem dan tata cara kerja otak dan DNA manusia, itu masih misteri. Sebagaimana misterinya ‘dark matter’ dan ‘dark energy’ yang memenuhi ruang di alam semesta ini.
Jadi bagaimana bisa manusia yang kecil ini dapat melihat keseluruhan dari jagat semesta yang tak terhingga itu?
Skeptis terhadap keberadaan akan adanya Tuhan adalah suatu yang lazim terjadi pada sebagian orang dalam kehidupan yang mereka jalani, saat keliaran otak dan pikiran terus menjelajah tanpa batas dan limit. Mempertanyakan maupun meragukan keberadaan Tuhan seringkali datang dan pergi di pikiran mereka.
Bahkan ada situasi dimana secara psikologis orang mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan itu seringkali terjadi. Tapi mengkampanyekannya secara provokatif dan terbuka serta mendudukkan diri sebagai orang yang tercerahkan dan yang lainnya tidak, menurut saya itu melampaui batasan.
Betapapun fanatisme dan radikalisme agama itu memang menyebalkan, tapi mengkampanyekan atheisme atas nama sains itu tak memberikan kemanfaatan, kecuali kemudaratan. Karena itu membuat jurang pemisah diantara sesama umat manusia semakin dalam.
Fanatisme agama maupun fanatisme sains, bukanlah jawaban. Tapi kerendahan hati manusialah yang akan membuat sains dan agama menjadi multiguna dan bermartabat.
Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.