Jakarta, Portonews.com – Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam di Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati mengungkapkan bahwa asumsi kebutuhan investasi untuk transisi energi akan meningkat seiring dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.
“Menurut saya, pertumbuhan ekonomi berdasarkan pertimbangan makro ekonomi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sekitar 6-7 persen. Namun, Presiden Prabowo Subianto sekarang menginginkan 8 persen, sehingga asumsi kebutuhan investasinya akan lebih besar,” ujarnya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2024 yang diselenggarakan secara virtual di Jakarta, Senin (4/11).
Transisi energi ini mencerminkan upaya Presiden untuk mencapai swasembada energi di Indonesia, yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 8 persen pada tahun 2029.
Namun, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi melalui berbagai skema, mulai dari pembiayaan inovatif, green bond, blue bond, hingga skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
“Saat ini, investasi tidak hanya bergantung pada sumber tradisional atau konvensional. Kita banyak melakukan pembiayaan inovatif dengan skema baru, seperti obligasi dan pendanaan karbon. Ke depannya, implementasi ini diharapkan dapat dipercepat,” kata Vivi.
Pemanfaatan teknologi untuk transisi energi di Indonesia juga beragam, dengan harga keekonomian yang harus disesuaikan dengan konteks masing-masing wilayah.
“Jika kita bicara tentang Papua, Indonesia bagian barat, dan Jawa, kebutuhan dan sumber energinya tentu berbeda. Apabila kita bisa membangun hilirisasi energi masing-masing dan membangun rantai nilainya, semoga harga keekonomiannya bisa dicapai lebih cepat. Dengan generasi muda yang lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi dan inovasi, harapannya pekerjaan hijau ini dapat kita realisasikan,” ujarnya.
Vivi menekankan pentingnya interkoneksi antarpulau untuk memastikan hilirisasi energi berjalan lancar demi mencapai swasembada energi seperti yang ditargetkan Presiden Prabowo.
Meskipun Indonesia dikenal sebagai lumbung energi, potensi sumber daya energi belum tersebar merata dan belum berkembang sesuai harapan.
Dengan mayoritas penduduk berada di Pulau Jawa dan stok energi yang berlebih di sana, fokus selanjutnya adalah mengembangkan alternatif energi di berbagai daerah melalui hilirisasi. Misalnya, PT Pertamina (Persero) diwajibkan mengembangkan B35 (campuran biodiesel dari minyak kelapa sawit dan solar) dan E10 (bahan bakar campuran etanol dan bensin tanpa timbal).
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Banyak penelitian yang telah kita lakukan, tidak hanya pada tebu, tetapi juga nyamplung, singkong, dan lainnya. Untuk mengembangkan penelitian tersebut, kita membutuhkan lahan. Ini menjadi tantangan tersendiri, bagaimana memanfaatkan lahan yang tidak produktif. Kita juga melihat ekonomi biru sebagai sumber energi, inilah yang saya maksud dengan hilirisasi energi,” jelasnya.
“Kita perlu membangun lebih lanjut komponen kritis dari energi terbarukan, seperti panel surya, turbin angin, baterai, dan lainnya. Sebenarnya, kita sudah memiliki elemen-elemennya, tetapi membangun rantai nilainya yang belum, karena masih ada kekurangan di tengah, baik dari segi kapasitas, edukasi, dan sebagainya,” tambah Vivi.
Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan di China telah mencapai peringkat tertinggi dalam produksi sel surya dengan memanfaatkan riset dari Eropa, lalu membangun rantai nilai industri panel surya dari hulu ke hilir dengan biaya rendah.
Menurut Vivi, Indonesia dapat melakukan hal serupa melalui hilirisasi untuk menggantikan opsi satu sumber energi bagi seluruh negeri.
“Contohnya, Papua memiliki sumber energi air yang dapat menjadi basis pengembangan industrialisasi di Indonesia timur. Sementara di bagian barat, hilirisasi energi panas bumi juga bisa dikembangkan,” ujarnya.
“Tentu saja, interkoneksi antarpulau harus diselesaikan, rantai nilai dari hulu ke hilir dibangun, dan kapasitas, termasuk sumber daya manusianya, juga harus dikembangkan dalam lima tahun ini,” tutup Vivi.