Jakarta, Portonews.com – Transisi energi menuju sumber terbarukan merupakan langkah penting dan tak terhindarkan di tengah ancaman krisis iklim. Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkomitmen terhadap perubahan ini, kini berada di persimpangan jalan dengan pergantian pemerintahan.
Nizar Marizi, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN/Bappenas, mengungkapkan bahwa Bappenas tengah menggodok arah kebijakan transisi energi dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJN) 2025-2045. Dalam rancangan ini, salah satu langkah signifikan adalah penghapusan bertahap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan percepatan pemanfaatan kendaraan transportasi yang menggunakan energi bersih serta penyimpanan energi secara massal di seluruh Indonesia.
“Dalam pelaksanaannya, transisi energi ini perlu kita kawal bersama,” ujar Nizar dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) pada Juni lalu seperti dilansir dari laman mongabay.
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional sekaligus praktisi energi, menekankan pentingnya keselarasan antara kebijakan energi dan kebijakan perubahan iklim. Penilaian ketahanan energi, yang sebelumnya bersifat nasional, kini perlu dinilai secara regional untuk mencapai hasil yang lebih akurat dan relevan.
Selain kebijakan, pendanaan menjadi aspek krusial dalam transisi energi ini. Pius Ginting, Koordinator Nasional AEER, menegaskan bahwa pendanaan harus diatur sedemikian rupa agar tidak menambah beban negara. Skema pendanaan alternatif seperti realokasi subsidi, pajak karbon, serta kemitraan dengan organisasi global seperti Green Climate Fund sangat diperlukan.
Daerah juga memegang peranan penting dalam transisi energi ini. Briliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Sumatera Selatan, menyebut bahwa Sumatera Selatan memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan. Namun, keterbatasan kewenangan pemerintah daerah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan kemandirian energi.
“Perlu ada sinkronisasi maupun harmonisasi kebijakan energi antara pusat dan daerah,” tegas Briliant.
Namun, transisi energi ini dinilai masih kurang transparan dan minim melibatkan publik. Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia, menyebut bahwa partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan kebijakan transisi energi yang berkeadilan.
“Transisi energi saat ini harus berkeadilan. Tidak adil bila tidak ada transparansi. Tanpa partisipasi masyarakat, kebijakan ini tidak bisa berjalan efektif,” jelas Aryanto.
Ironisnya, di tengah gencarnya transisi energi, masih terdapat 4.700 desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Magdalena Rianghepat, Koordinator Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) Nusa Tenggara Timur, menyebut bahwa masyarakat masih banyak yang belum mengerti tentang transisi energi.
“Isu ini muncul kalau sedang ada pemilihan gubernur baru,” ujar Magdalena.
Sebagai solusi, Syahrani, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menyarankan pembentukan forum multipihak yang melibatkan masyarakat dan pemerintah. Forum ini penting untuk memastikan transparansi dan partisipasi dalam transisi energi.
“Jangan biarkan masyarakat tidak tahu menahu. Perlu ada pendekatan khusus,” tambah Syahrani.
Catur Budi Kurniadi, Koordinator Kajian Strategis Pusat Data dan Informasi, Kementerian ESDM, menyampaikan bahwa meskipun potensi energi terbarukan di Indonesia besar, pemanfaatannya masih tergolong kecil dibandingkan energi fosil. Namun, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan sebagai bagian dari upaya ketahanan energi dan pengurangan emisi karbon.
Dengan pergantian kepemimpinan yang akan datang dapat membawa perubahan nyata dalam transisi energi Indonesia. Transparansi, partisipasi publik, dan kebijakan yang berkeadilan menjadi kunci sukses bagi transisi energi yang berkelanjutan di masa depan.