Jakarta, Portonews.com : Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menerbitkan sebuah Kertas Putih yang berjudul “Analisis Bisnis dan Kebijakan untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia”.
Acara ini diadakan di Auditorium Soeria Atmadja, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Depok. Studi Analisis Bisnis dan Kebijakan untuk Mendorong Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia diselenggarakan oleh LPEM FEB UI bekerja sama dengan Sustainable Energy Systems and Policy Research (SESP), Fakultas Teknik Universitas Indonesia, dan ahli hukum energi dengan dukungan penuh dari Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API). Studi ini secara komprehensif menelaah berbagai aspek yang berperan penting dalam pengembangan bisnis panas bumi di Indonesia, terutama dari segi teknis, regulasi, dan finansial.
Tujuan buku putih ini adalah untuk memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan investasi PLTP, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan bauran energi panas bumi di Indonesia.
Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Darma Persada yang sebelumnya menjabat sebagai direktur utama PT. GeoDipa Energi (Persero) dari tahun 2016 hingga 2022, Riki Ibrahim, mengungkapkan bahwa pada saat ini lebih baik tidak memperjuangkan harga listrik dengan tingkat pengembalian investasi (IRR) 14% (sekitar 16 sen per kWh). Namun, ia menyarankan untuk memberikan solusi konkret agar pengembangan energi panas bumi di Indonesia tidak kalah dengan teknologi energi terbarukan lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang saat ini menggunakan penyimpanan energi (storage) yang banyak dipasang di Amerika Serikat dan Eropa, dengan menawarkan harga jual listrik sekitar 4-6 sen per kWh.
Riki menekankan bahwa Buku Putih harus menjelaskan perbedaan harga listrik dengan dan tanpa insentif pemerintah, karena hingga saat ini insentif pemerintah lebih banyak diberikan kepada energi panas bumi dibandingkan energi terbarukan lainnya. Dia juga menegaskan perlunya tuntutan insentif yang tepat kepada pemerintah untuk menjadikan harga listrik PLTP lebih bersaing. Riki menyarankan untuk menyertakan contoh harga uap dan listrik dari proyek panas bumi di berbagai negara agar pemerintah dan DPR lebih meyakini isi Buku Putih ini. Dia juga mencatat bahwa saat ini semua harga listrik dari proyek panas bumi yang telah berjalan selama lebih dari 25 tahun berada di bawah 10 sen per kWh, bahkan ada pengembang swasta di Sumatera yang berhasil menurunkan harga jual listrik dari sekitar 12 sen per kWh menjadi 8,1 sen per kWh.
Riki menegaskan bahwa kontrak dengan PLN merupakan yang paling terjamin karena telah terbukti selama lebih dari 30 tahun tidak pernah gagal dalam pembayaran. Ia menyebut bahwa Power Wheeling masih menjadi perdebatan dan tidak berani memberikan jaminan penawaran untuk 30 tahun. Sebagai mantan Direktur Utama GeoDipa Persero, Riki menegaskan bahwa ia memiliki visi yang sama dalam mempercepat pengembangan geothermal/panas bumi di Indonesia.
“Peran saya penting dalam mengubah GeoDipa menjadi penyedia jasa pengeboran bagi pemerintah, sekaligus membawa ADB untuk menginvestasikan sekitar US$ 350 juta pada proyek Dieng dan Patuha unit II, masing-masing 55MW,” ujar Riki. Selain itu, sebagai bagian dari Tim Amoseas pada tahun 1999, Riki juga berjuang untuk menurunkan harga jual listrik JOC Darajat dari sekitar US$ 7 sen per kWh menjadi US$ 4,2 sen per kWh dengan menambah kontrak operasi selama 15-20 tahun, sehingga operasi Geotermal ChevronTexaco dapat berjalan.
Pada saat itu, kepala Tim Negoisasi Listrik Swasta PLN adalah Samsudin Warsah. Samsudin kemudian di tahun 2002 diangkat oleh PLN menjadi Direktur Utama pertama PT Geo Dipa Energi, yang sahamnya dibagi antara PLN dan Pertamina. Sebelum PT GeoDipa menjadi Persero pada tahun 2011, Geo Dipa adalah singkatan dari Geotermal Dieng dan Patuha. Menurut Riki, Buku Putih seharusnya juga memperhitungkan perpanjangan kontrak agar bisa meningkatkan IRR dan membuat harga listrik lebih bersaing.
Tentang IRR 14%, itu adalah kondisi ideal 30 tahun lalu sebelum reformasi, bukan kondisi saat ini di era Transisi Energi global menuju NZE pada tahun 2060. Bahkan suku bunga dolar AS pun saat ini tidak mencapai dua digit, dan tidak relevan lagi untuk mencari harga listrik 16 sen per kWh atau IRR 14%.
Buku Putih juga harus diuji dengan LCOE harga listrik yang dikeluarkan oleh IRENA, berkisar antara 3,6 sen dan maksimum 13,4 sen per kWh untuk Geotermal/Panas Bumi selama 30 tahun.
Hari ini, risiko terkait panas bumi bukan lagi pada tahap eksplorasi karena pemerintah (melalui EBTKE dan KemenKeu) telah menyediakan dana eksplorasi untuk mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia. Dana ini dipegang oleh PT SMI (Persero) dengan dukungan dari World Bank sekitar US$ 550 juta. Selain Gov.Drilling, insentif eksplorasi juga meliputi BUMN Drilling dan GREM untuk Swasta, di mana kegagalan dapat menyebabkan penghapusan 50% pinjaman. – ujar Riki.
Risiko yang ditanggung Pemerintah terkait tender IUP/WKP adalah karena masih berada dalam kelas Sumberdaya dan bukan kelas Cadangan. Ketika kelas cadangan telah ditentukan oleh pemerintah untuk IUP/WKP, pengembang harus menanggung risiko sisanya, termasuk sumur eksploitasi.
Di masa lalu, tender IUP/WKP belum memiliki kelas Cadangan dan masih berdasarkan kelas Sumberdaya. Oleh karena itu, eksplorasi dilakukan oleh pengembang. Angka yang dikeluarkan dalam tender IUP/WKP pada saat itu seringkali hanya perkiraan karena belum ada sumur eksplorasi, sehingga seperti membeli kucing dalam karung, itulah yang disebut Risiko Tinggi pada Geothermal. Risiko Panas Bumi yang dapat diklaim kepada pemerintah bukanlah pada tahap sumur eksploitasi setelah luasan cadangan terbukti.
Pengembang Geotermal memerlukan tenaga ahli Geologis/Geofisika/Geokimia dan Drilling yang handal. Definisi kelas cadangan Geotermal telah distandarisasi dalam JORC. Sulit untuk menyatakan bahwa data pemerintah tidak berkualitas karena penilaian bergantung pada standar JORC. Jika penilaian JORC tidak mengkonfirmasi eksplorasi pemerintah, maka pengeboran eksplorasi dianggap belum membuktikan kelas Cadangan.
Riki juga menyoroti risiko saat ini, yaitu Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang kebijakannya kuat dari Kementerian Perindustrian. Namun, Peraturan Menteri Perindustrian tidak mendorong hilirisasi dengan memasukkan kalimat TKDN dalam tender pengembang. Sebaiknya, Kementerian Perindustrian mengambil contoh dari negara yang berhasil mendorong TKDN, seperti di Turki, sebagai inspirasi.
Pemerintah diharapkan segera menerbitkan regulasi melalui Kemenperin untuk memberikan insentif selama 7 tahun bagi teknologi yang pabriknya dibangun di Indonesia, demi mempercepat proses hilirisasi.
Turki menerapkan insentif bagi produk pembangkit yang dibangun dengan teknologi lokal, sehingga banyak perusahaan dari Amerika Serikat dan Eropa membangun pabrik di Turki dan mendapatkan insentif kenaikan harga listrik selama 5-7 tahun.
Di samping itu, pelaksanaan ESG (Environmental, Social, and Governance) atau Safeguard lingkungan dan sosial semakin banyak dihadapi penolakan dari masyarakat terhadap proyek Geotermal, menjadi risiko. Pemda yang masih mengharapkan 15% saham seperti di sektor migas juga kurang membantu mencapai target pemerintah pusat.
Pelaksanaan ESG atau Safeguard lingkungan dan sosial saat ini menghadapi banyak penolakan dari masyarakat terhadap proyek Geotermal, yang menjadi risiko. Permintaan Pemda untuk bagian saham 15% seperti di sektor migas juga tidak sepenuhnya mendukung target pemerintah pusat.
Meskipun pemerintah pusat telah mengeluarkan regulasi Bonus Produksi untuk mendukung pemda, risiko timbul ketika BKPM dan kementerian terkait tidak serius mendampingi investasi pengembangan energi terbarukan, seperti ET, Geoterma, dan Panas Bumi di daerah.
Sebagai penutup, Riki berharap Indonesia dapat meningkatkan kapasitas PLTP sesuai dengan RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, mencapai total 3.355 MW. Dia juga berharap agar Buku Putih yang dihasilkan oleh LPEM FEB UI, bekerja sama dengan SESP UI dan ahli hukum energi, didukung penuh oleh Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API).