Jakarta, Portonews.com– Minyak sawit sebagai bahan baku utama produksi biodiesel ikut mendorong peningkatan permintaan minyak sawit nasional termasuk penggunaanya untuk kebutuhan pangan domestik dan industri yang juga mengalami peningkatan.
Bahkan kebijakan biodiesel juga didukung dengan penggunaan dana pungutan CPO untuk biodiesel. Sejak 2015 hingga 2022, jumlah dana pungutan yang telah digunakan untuk biodiesel telah mencapai Rp144,7 triliun.
Oleh sebab itu, kebijakan ambisius Pemerintah meningkatkan campuran biodiesel hingga 50% akan mendesak ekspansi lahan perkebunan sawit baru menjadi lebih cepat.
Apalagi dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) biomassa dijadikan sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang diusung dan diberikan banyak kemudahan dalam proses transisi energi kedepannya.
Sayyidatihayaa Afra, Peneliti Satya Bumi mengatakan ambisi Pemerintah meningkatkan kewajiban campuran biodiesel perlu ditimbang ulang. Hal ini lantaran, permintaan minyak sawit nasional tidak hanya digunakan untuk energi, melainkan juga untuk kebutuhan pangan, oleokimia serta ekspor sebagai sumber devisa juga mengalami peningkatan.
Kebijakan ini berpotensi memicu masifnya ekspansi lahan, yang pada beberapa tahun lalu menjadi musabab utama deforestasi dan kenaikan emisi.
“Tahun 2022, luas perkebunan sawit nasional mencapai 17,77 juta hektar, naik 145% atau 2,45 kali lipat dibandingkan tahun 2001 yang hanya 7,25 juta hektar. Sementara tingkat produktivitas minyak sawit naik 30% atau 1,3 kali lipat, disisi lain selama periode 2001-2022, seluas 2,95 juta hektar hutan alam telah beralih menjadi perkebunan sawit,” kata Hayaa di Jakarta, Jumat (22/3/2024).
Hingga saat ini, lanjut Hayaa, belum ada kebijakan Pemerintah yang melarang deforestasi, yang ada hanya upaya menghentikan deforestasi melalui instrumen lain seperti pembatasan penerbitan izin baru.
Berbagai regulasi Pemerintah seperti PP 104/2015, INPRES 5/2019, Perpres 44/2020, Permentan 38/2020, dan PP 23/2021 semakin menunjukkan bahwa arah perlindungan hutan di Indonesia bukan untuk mencapai target nol deforestasi, ditambah lagi dengan adanya label Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memungkinkan pelenyapan hutan alam untuk kesuksesan proyek-proyek mega tersebut.
“Meskipun biodiesel tidak mendapat label PSN, tetapi manfaat yang diklaim melebihi PSN. Jika biodiesel diarahkan menjadi salah satunya, maka ketentuan Lingkungan Hidup akan banyak yang dikesampingkan, termasuk membuka hutan alam untuk pembangunan kebun sawit baru – PS sudah terjadi. Apalagi kita memiliki kuota deforestasi kurang lebih 6,8 juta hektar selama 2020-2050,” ujar Hayaa
Sementara itu, Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace menyoroti hasil penelitian Koalisi Transisi Bersih, yang memprediksi bahwa permintaan biosolar akan mencapai 65,8 juta kiloliter (kl) pada tahun 2042.
Tanpa peningkatan target campuran biodiesel oleh pemerintah Indonesia (dalam skenario yang ada saat ini), diperlukan 23 juta kl biodiesel untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dengan peningkatan target campuran biodiesel menjadi 40% pada 2024 (skenario ambisius), kebutuhan naik menjadi 26,3 juta kl. Jika target dinaikkan lagi menjadi 50% pada 2025 (skenario agresif), kebutuhan meningkat menjadi 32,9 juta kl. Kebutuhan minyak sawit untuk produksi biodiesel akan bertambah dari 19,9 juta ton dalam skenario saat ini menjadi 22,75 juta ton dan 28,4 juta ton dalam skenario ambisius dan agresif, berturut-turut.
Pada 2042, konsumsi domestik lainnya seperti pangan dan oleokimia akan memerlukan hanya 41%-58% dan 9%-13% dari jumlah minyak sawit yang digunakan untuk biodiesel. Ini menandai perubahan signifikan dibandingkan tahun 2022, di mana kebutuhan pangan melebihi biodiesel sebesar 4%.
Jika pemerintah Indonesia tidak meningkatkan target campuran biodiesel hingga 2042, terang Iqbal, jumlah minyak sawit yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan domestik dan internasional pada tahun 2042 adalah sebesar 67,1 juta ton. Ekspor dan produksi biodiesel masing-masing menyumbang 49% dan 30% dari total permintaan tersebut.
Apabila target campuran biodiesel ditingkatkan menjadi 40% pada 2024, maka pada tahun 2042, total permintaan minyak sawit akan naik menjadi 69,94 juta ton. Porsi ekspor turun menjadi 47%, dan porsi untuk produksi biodiesel naik menjadi 33%. Jika Pemerintah Indonesia meningkatkan lagi target campuran biodiesel menjadi 50% pada tahun 2025, maka total permintaan minyak sawit pada tahun 2042 akan mencapai 75,63 juta ton, dengan porsi ekspor turun menjadi sebesar 44% dan porsi untuk produksi biodiesel naik menjadi 38%.
Dalam skenario ambisius, kebijakan ini akan melahap sebanyak 17 juta hektar, dan 18,4 juta hektar pada skenario agresif. Angka ini naik signifikan masing-masing 29%, 34%, dan 45% dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 12,69 juta hektar. Dengan asumsi adanya tanaman yang rusak dan tanaman yang belum menghasilkan tetap masing-masing sebesar 3,9% dan 21,6%, maka luas perkebunan sawit yang dibutuhkan menjadi semakin tinggi. Pada skenario BAU, luas kebun sawit yang dibutuhkan menjadi sebesar 20,52 juta hektar, 21,39 juta hektar pada skenario ambisius, dan lebih tinggi pada skenario agresif, yakni sebesar 23,13 juta hektar
Saat ini ada 3,4 juta hektar hutan alam tersisa di dalam konsesi sawit. Ambisi untuk terus menaikkan tingkat campuran biodiesel akan meningkatkan kebutuhan ekspansi lahan kebun sawit secara signifikan.
“Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam 2 dekade mendatang,” tegas Iqbal.
Jika pemerintah menetapkan target biodiesel sebesar 40% pada tahun 2024 (sebagai skenario ambisius), maka kebutuhan perluasan mencapai 138 ribu hektar pada tahun tersebut. Sementara apabila target campuran ditingkatkan menjadi 50% pada tahun 2025, kebutuhan perluasan menjadi lebih tinggi dan lebih cepat, yakni sebesar 746,4 ribu hektar pada tahun 2022, kecuali jika luas tanaman rusak atau tanaman yang belum menghasilkan mengurangi angka tersebut.
Kelompok Perusahaan Berkuasa
Saat ini, rantai pasok biodiesel dikuasai oleh 5 kelompok perusahaan yang mendapat alokasi biodiesel 5 terbesar. PT Pertamina Patra Niaga menjadi perusahaan penerima alokasi biodiesel terbanyak, yakni 79% dari total alokasi tahun 2022.
Marselinus Andri, Kepala Departemen Serikat petani Kelapa Sawit merinci berdasarkan lima kelompok korporasi pemasok biodiesel terbesar yang disebutkan sebelumnya, PT Pertamina Patra Niaga menjadi penerima utama dari alokasi biodiesel masing-masing kelompok tersebut.
“Terdapat 685 perusahaan pengolah TBS dengan jumlah pabrik kelapa sawit mencapai 792 unit yang dilaporkan telah memasok minyak sawit ke lima kelompok korporasi tersebut. Pemasok bahan baku BU BBN ini tersebar hampir di seluruh pulau besar,” tegas Andri.
Lebih lanjut Andri mengatakan bahwa ada peluang bagi pemerintah dan pelaku usaha BU BBM, khususnya PT Pertamina (Persero) untuk mewujudkan rantai pasok biodiesel yang lebih baik. Fakta bahwa 79% alokasi biodiesel diserap oleh PT Pertamina Patra Niaga dan pemasok bahan baku BU BBN lima grup biodiesel relatif tersebar, menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan (sustainability commitment) yang diwujudkan pada tingkat BU BBM atau produsen biosolar berpotensi memberikan dampak yang besar dengan mempengaruhi perilaku pemasok midstream dan hulu, baik dari tingkat produsen biodiesel, minyak sawit, dan TBS.
Ditambah lagi dengan adanya riwayat deforestasi dari pemasok TBS dari PKS-PKS tersebut. Di mana seluruh grup biodiesel telah terekspos dengan perusahaan-perusahaan yang pernah melakukan deforestasi semakin meyakinkan kita bahwa biosolar yang di produksi oleh kita, tidak lepas dari praktek perusakan lingkungan.
“Dalam laporan kami terdapat fakta yang menunjukkan bahwa 80% pelaku deforestasi itu adalah perkebunan skala besar, maka pertanyaannya, mengapa sawit rakyat tidak menjadi prioritas dalam pengembangan bahan baku biodiesel ini?” tanya Andry.
Padahal, menurutnya, dengan memasukkan petani sawit swadaya ke dalam rantai pasok biodiesel, dapat meningkatkan kesejahteraan petani mendorong tercapainya pemerataan ekonomi. Sehingga manfaat kebijakan biodiesel ini tidak hanya dirasakan oleh segelintir perusahaan besar saja melainkan petani sawit. Selama ini, petani mendapat potongan harga karena dampak pungutan dan rantai pasok yang panjang.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa perlu ada perbaikan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak buruk dari sawit dan biodiesel, selain itu pembenahan pada rantai pasok Biodiesel diperlukan dengan memprioritaskan petani sawit swadaya sebagai pemasok bahan baku serta perlu menyusun konsep model kemitraan usaha yang setara dan adil antara kelompok tani/koperasi dan pelaku usaha biodiesel dalam melakukan kerjasama pengembangan industri biodiesel berbasis perkebunan sawit swadaya.