Jakarta, Portonews.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan apresiasinya terhadap rencana pemerintah untuk membangun pembangkit energi terbarukan berkapasitas 75 Gigawatt (GW), sebagai bagian dari komitmen Indonesia menuju dekarbonisasi pada tahun 2060.
Meski demikian, IESR menekankan bahwa rencana tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, yang membutuhkan transisi energi terbarukan yang lebih agresif.
“Indonesia harus menunjukkan komitmen yang lebih serius serta tindakan nyata untuk mencapai target Persetujuan Paris,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis (14/11).
Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan (12/11), Indonesia telah menyetujui keputusan untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan menggandakan upaya efisiensi energi pada tahun 2030, guna membatasi laju kenaikan suhu global.
Menurut IESR, kesepakatan ini seharusnya dimasukkan ke dalam target Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Oleh karena itu, setiap rencana pembangunan energi terbarukan perlu disertai dengan strategi pengurangan bertahap dan penghapusan total PLTU batubara paling lambat tahun 2045, agar selaras dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5°C.
IESR berpendapat bahwa kombinasi langkah-langkah ini akan sangat penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mendekarbonisasi sektor kelistrikan pada tahun 2050.
“Sejauh ini, pelaksanaan rencana pembangunan energi terbarukan di Indonesia masih jauh dari harapan. Meskipun sering diumumkan rencana besar, IESR mencatat bahwa implementasinya masih jauh dari target yang ditetapkan. Hal ini terlihat dari kegagalan Indonesia mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025,” ungkap Fabby.
Ia mendesak pemerintah agar tidak hanya menyampaikan target ambisius di forum internasional, tetapi juga memastikan implementasi dan upaya konkret dalam mengatasi berbagai hambatan dan tantangan. Dengan begitu, target yang ditetapkan dapat benar-benar tercapai dan bukan sekadar wacana.
Selain itu, IESR mendorong Indonesia untuk fokus mengembangkan energi terbarukan yang berbiaya paling rendah, dengan keandalan pasokan yang optimal dan teknologi yang andal.
Sementara itu, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyatakan bahwa rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan energi nuklir harus mempertimbangkan kesiapan institusi, keandalan teknologi, biaya investasi, biaya sosial, serta risiko lainnya.
“Menurut perhitungan IESR, dengan elektrifikasi masif dan percepatan pembangunan energi terbarukan yang lebih cepat, murah, dan rendah risiko keterlambatan, Indonesia dapat membangun 120 GW energi terbarukan hingga 2030 dengan mengandalkan tenaga surya dan angin. Kapasitas tersebut dapat membuat bauran energi terbarukan mencapai lebih dari sepertiga bauran ketenagalistrikan Indonesia, mencapai puncak emisi sebelum 2030, dan memudahkan pencapaian nol emisi sektor ketenagalistrikan dengan 100 persen energi terbarukan pada 2045,” terang Deon.
IESR juga mendorong pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki pengaruh di sektor strategis, untuk menyusun strategi transisi energi yang lebih komprehensif.
Strategi ini tidak hanya sekadar menyampaikan target besar, tetapi juga mencakup reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk memastikan bahwa PLN dan pihak terkait mampu mencapai target energi terbarukan yang telah ditetapkan.
Dalam hal pendanaan, investasi sebesar 235 miliar dolar AS harus dikelola dengan baik untuk mempercepat transisi energi yang adil dan berkelanjutan. IESR juga mendorong agar sumber pendanaan ini diarahkan pada proyek-proyek energi terbarukan yang jelas dan berpotensi memberikan dampak nyata dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Sebagai informasi, Pemerintah Indonesia berencana membangun pembangkit listrik berkapasitas 100 Gigawatt (GW) dengan 75 persen dari energi terbarukan hingga tahun 2040, yang membutuhkan investasi sekitar 235 miliar dolar AS atau Rp3.710 triliun (kurs Rp15.790,62). Rencana ini disampaikan oleh Ketua Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) ke-29, Hashim S Djojohadikusumo, di Baku, Azerbaijan (12/11).