Jakarta, Portonews.com – Pembangkit listrik berbasis batubara terlihat hampir di setiap sudut Indonesia, dan kenyataannya, batubara tetap menjadi sumber energi terbesar di dunia. Namun, batubara juga menyumbang 40% dari total emisi karbon global yang berasal dari sektor energi. Tanpa keseriusan untuk beralih dari energi kotor ini, kenaikan suhu global yang mengancam bumi akan semakin tak terelakkan.
Pada Konferensi Perubahan Iklim (COP29) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, negara-negara dunia, termasuk sekitar 25 negara dan Uni Eropa, mengajukan seruan untuk segera meninggalkan batubara. Mereka menilai pengurangan emisi dari batubara sebagai langkah mendesak untuk mencegah kenaikan suhu global lebih dari 1,5°C. Sebagai bagian dari Powering Past Coal Alliance (PPCA), mereka menekankan bahwa langkah pertama untuk mengatasi perubahan iklim adalah menghentikan pembangunan proyek batubara baru.
Ed Miliband, Menteri Energi Inggris, mengungkapkan bahwa penggunaan batubara merupakan ancaman terbesar bagi upaya mempertahankan target 1,5°C. Inggris pun menjadi negara G-7 pertama yang memutuskan untuk meninggalkan batubara. “Kita semakin dekat dengan masa depan yang lebih bersih, terjangkau, dan aman,” ujarnya, seraya menyerukan negara-negara lain mengikuti langkah Inggris sebelum COP30 tahun depan.
Seruan tersebut mendapat respons dari berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Angola, Austria, Australia, Belgia, Kanada, Kolombia, dan masih banyak lagi. Meski begitu, transisi energi dari batubara bukanlah hal yang mudah. Beberapa negara, seperti Kolombia, sangat bergantung pada batubara untuk sektor-sektor utama ekonomi mereka, seperti listrik dan industri baja. Namun, Omar Andres Camacho Morales, Menteri Pertambangan dan Energi Kolombia, menyatakan keyakinannya bahwa energi bersih dapat mendorong pertumbuhan industri dan menciptakan lapangan kerja, sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi.
Wopke Hoekstra, Komite Eropa untuk Aksi Iklim, menegaskan bahwa meski beberapa negara mulai beralih ke energi bersih, penggunaan batubara masih meningkat di banyak tempat. Laporan dari Globalenergymonitor.org menunjukkan bahwa kapasitas pembangkit batubara global tumbuh 2% pada tahun 2023. Tiongkok menjadi kontributor terbesar, diikuti oleh negara-negara seperti India, Vietnam, Jepang, dan lainnya.
Ruth Nankabirwa Ssentamu, Menteri Energi Uganda, juga menyoroti bahwa dunia saat ini menghadapi dampak besar dari krisis iklim yang semakin nyata, dengan bencana alam yang semakin sering terjadi. Menurutnya, meninggalkan energi kotor seperti batubara merupakan langkah penting untuk memperbaiki keadaan dan menjaga masa depan yang aman.
Indonesia, meski tidak tergabung dalam PPCA, turut menyatakan komitmennya untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050, lebih cepat dari target global. Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menyatakan bahwa negara akan menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dalam 15 tahun ke depan dan beralih ke energi terbarukan, termasuk solar, hidro, dan panas bumi. “Kami sangat optimis dapat mencapai emisi nol bersih sebelum 2050,” ujar Prabowo.
Namun, kritik datang dari aktivis lingkungan Firdaus Cahyadi. Menurutnya, meski Indonesia berkomitmen menutup PLTU batubara, ada kekhawatiran bahwa penutupan tersebut tidak diikuti dengan penghentian produksi batubara. Firdaus juga menyoroti bahwa narasi swasembada energi yang masih mengandalkan batubara berpotensi memperlambat transisi energi yang lebih bersih dan adil.
Penutupan PLTU batubara, menurut Firdaus, memerlukan perubahan paradigma dalam melihat transisi energi, dengan fokus pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa perubahan tersebut, transisi energi yang adil dan berkelanjutan akan sulit tercapai, dan krisis iklim akan semakin sulit diatasi.
Sementara itu, tantangan untuk mengakhiri penggunaan batubara di seluruh dunia semakin mendesak. Dunia harus bersatu untuk memastikan bahwa masa depan energi tidak lagi bergantung pada sumber daya yang merusak planet ini. Keberhasilan transisi ini akan menentukan apakah kita dapat mempertahankan suhu global di bawah 1,5°C dan menjaga kelangsungan hidup generasi mendatang.
Sumber : mongabay