Jakarta, Portonews.com – Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar dalam memenuhi target produksi, seiring dengan terus menyusutnya cadangan migas nasional. Berdasarkan data Kementerian Keuangan 2023, sektor ini menyumbang lebih dari Rp150 triliun terhadap penerimaan negara, dengan dampak signifikan yang dirasakan oleh sektor lain seperti jasa, logistik, dan manufaktur.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, cadangan migas Indonesia saat ini terus menurun. Data dari SKK Migas 2024 menunjukkan bahwa lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari, jauh di bawah target APBN yang sebesar 660 ribu barel per hari. Sementara itu, produksi gas bumi mengalami sedikit peningkatan sebesar 2,2 persen pada 2023, mencapai 960 ribu barel setara minyak per hari.
Kondisi ini semakin diperparah dengan fakta bahwa 60 persen wilayah kerja migas Indonesia merupakan lapangan tua yang memerlukan teknologi canggih dan biaya tinggi untuk mempertahankan produksi. Komaidi menyatakan, “Tanpa insentif signifikan, eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor,” dan menekankan perlunya kebijakan yang dapat menarik investasi untuk mengatasi kekurangan cadangan migas, seperti dilansir dari laman Antara.
ReforMiner Institute juga mencatat bahwa kebutuhan devisa untuk impor migas Indonesia meningkat tajam, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022. Bahkan, proyeksi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memperkirakan angka ini akan melonjak menjadi Rp1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dilakukan. “Ketergantungan impor migas tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global,” ujar Komaidi.
Dalam menghadapi tantangan ini, Komaidi juga mengungkapkan pentingnya pemanfaatan teknologi baru seperti Enhanced Oil Recovery (EOR), yang telah terbukti efektif meningkatkan produksi minyak hingga 20 persen di beberapa lapangan tua. “Investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung,” tegasnya.
Selain itu, transisi energi global juga memberikan tekanan besar pada sektor migas Indonesia. Berdasarkan RUEN 2017, sektor migas diperkirakan masih akan menyumbang antara 34 hingga 44 persen dalam bauran energi hingga 2050. Oleh karena itu, Komaidi menegaskan bahwa penting untuk mendukung transisi energi dengan kebijakan yang seimbang, memberikan prioritas pada proyek berbasis gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan.
“Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan bisa menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan. Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi,” ujar Komaidi.
Dengan kebijakan yang tepat, sektor hulu migas Indonesia dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor. Komaidi juga mengusulkan penyederhanaan regulasi dan pemberian insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi di sektor migas, terutama untuk proyek berisiko tinggi dan lapangan marjinal. Ia mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen selama tahap eksplorasi sebagai salah satu upaya yang dapat mendorong investasi di sektor ini.
“Masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha harus bekerja sama untuk menjawab tantangan ini. Sinergi yang kuat adalah kunci untuk membawa sektor migas Indonesia ke tingkat yang lebih baik,” tambah Komaidi, yang juga seorang dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.