Jakarta, Portonews.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia meminta jajarannya agar melakukan percepatan penyelesaian Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
“Tadi itu (arahan Menteri ESDM saat rapim) masalah undang-undang, RUU (EBET) ini harus segera diselesaikan,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi seusai mengikuti rapat pimpinan (rapim) bersama Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Jakarta, Selasa (20/8).
Eniya menyebutkan bahwa Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menginstruksikan kepada jajarannya Direktorat Jenderal EBTKE agar melakukan percepatan penyelesaian RUU EBET.
“RUU EBET ini masih belum terjadwalkan untuk sidang lagi kan. Itu tadi beliau (Menteri ESDM) juga meminta itu dipercepat,” ucapnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, Selasa melakukan rapat pimpinan (rapim) bersama jajaran di kementerian tersebut di saat hari pertama kerja.
< Mantan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu memimpin langsung rapat pimpinan tersebut.
Para pejabat Kementerian ESDM mulai dari direktur jenderal (dirjen) hingga eselon 2 mengikuti rapat yang dilaksanakan secara tertutup itu. Namun, hingga rapim usai, Bahlil tak sempat memberi keterangan kepada media yang telah menunggu sejak pukul 09.30 WIB hingga pukul 18.00 WIB di Kantor Kementerian ESDM.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan komitmennya untuk fokus menangani permasalahan di bidang energi salah satunya meningkatkan lifting minyak di sisa masa kerjanya yang tinggal dua bulan atau hingga Oktober 2024.
Hal itu ditekankan Bahlil di sela Serah Terima Jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Kabinet Indonesia Maju Sisa Masa Jabatan Periode 2019-2024 di Jakarta, Senin (19/8).
Ia mengaku bahwa upaya peningkatan lifting minyak adalah perintah langsung dari Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Selain lifting minyak, Bahlil juga menyoroti impor gas yang dianggap terlalu tinggi. Ia menegaskan pentingnya pembangunan hilirisasi LPG sesuai arahan dari Presiden Jokowi dan maupun presiden terpilih Prabowo Subianto.
Bahlil menyadari bahwa waktu yang dimilikinya sangat terbatas, sehingga ia meminta kepada seluruh direktur jenderal (Dirjen) untuk bekerja lebih keras dan efektif.
Sementera itu Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan komitmen kuat dan bahkan perlu intervensi lebih jauh dari pemerintah.
Komaidi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (20/8), menyatakan banyak pengembang EBT di Indonesia dihadapkan pada kondisi pasar yang tidak seimbang dan situasi “risiko tinggi, imbal hasil rendah”.
Ia juga mengungkapkan saat ini banyak pengembang EBT yang kesulitan menjual produknya karena hanya ada satu pembeli utama, yakni PLN. Kondisi itu membuat posisi tawar pengembang menjadi lemah dan sulit untuk mendapatkan harga yang wajar.
“Pengembangan EBT sekarang ini adalah high risk, low return. Mau jualan, tetapi dihadapkan pada single buyer. Ini yang saya kira harus kita sadari bersama termasuk pengambil kebijakan agar (pengembangan EBT) bisa high risk, high return,” katanya.
Komaidi memberikan usulan agar pemerintah melakukan intervensi dalam pengembangan EBT, termasuk intervensi terhadap BUMN kelistrikan, yaitu PLN. Intervensi ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan bahwa PLN sebagai offtaker atau pembeli listrik mau membeli listrik dari pengembang EBT dengan harga yang wajar.
Apabila PLN tidak mampu menyerap seluruh listrik yang dihasilkan, pemerintah perlu memfasilitasi mekanisme power wheeling agar pengembang EBT dapat menjual listriknya ke pihak lain, ujar dia.
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.
“Kalau memang tidak bisa power wheeling, pemerintah harus memberikan subsidi. Jadi harus ada jaminan bahwa listrik yang diproduksi oleh pengembang EBT itu 100 persen harus diserap, kalau tidak dibantu itu tidak akan berkembang,” jelasnya.
Upaya untuk mengembangkan EBT menghadapi tantangan karena hingga saat ini belum ada undang-undang yang spesifik yang mengatur pengembangan energi terbarukan.
Padahal, pemerintah memiliki target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Capaian EBT pada 2023 baru mencapai 13,09 persen.
Kendati begitu, pemerintah saat ini intensif melakukan pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan dengan DPR, yang diharapkan menjadi regulasi yang komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi EBT yang berkelanjutan dan adil. – ANTARA