Baku, Portonews.com – PT Pertamina (Persero) semakin serius mengembangkan bahan bakar nabati atau biofuel sebagai bagian dari strategi transisi energi Indonesia. Langkah ini mendapat dukungan kuat dari pemerintah dan legislatif sebagai upaya pengurangan emisi serta pemanfaatan energi terbarukan.
Wakil Ketua MPR RI sekaligus Anggota Komisi XII DPR RI, Eddy Soeparno, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya biofuel. Melalui program B35, yang memanfaatkan biodiesel berbasis kelapa sawit (CPO) dengan campuran 35 persen, Pertamina telah menunjukkan langkah nyata dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
“Indonesia memiliki potensi biofuel yang sangat melimpah. Saat ini kita menggunakan B35, biodiesel dengan campuran 35 persen dari CPO. Kita juga memiliki sumber lain seperti tebu dan singkong yang bisa dikembangkan sebagai bahan bakar nabati,” ujar Eddy Soeparno dalam sebuah diskusi pada COP29, Rabu (13/11/2024).
Pertamina pun telah mengembangkan Sustainable Aviation Fuel (SAF), yaitu bahan bakar berkelanjutan untuk penerbangan yang berbasis biofuel, termasuk dari minyak goreng bekas. Pencampuran lima persen SAF dalam bahan bakar penerbangan telah diuji coba dalam penerbangan beberapa waktu lalu, dan rencana peningkatan penggunaan bahan bakar ini terus dilakukan untuk mendorong keberlanjutan di sektor penerbangan.
CEO Pertamina New & Renewable Energy (PNRE), John Anis, menegaskan bahwa PNRE berkomitmen untuk menjadi pelopor dalam bisnis rendah karbon di lingkungan Pertamina. Di samping meningkatkan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan, PNRE juga fokus pada pengembangan biofuel sebagai bagian dari strategi pertumbuhan ganda.
“Kami memiliki berbagai program untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan bahan bakar fosil yang lebih bersih dengan pengembangan bisnis rendah karbon. Kami berusaha mengoptimalkan bisnis tradisional sambil memulai langkah ke arah yang lebih ramah lingkungan,” ujar John.
Lebih lanjut, PNRE memiliki peta jalan untuk mengembangkan bioetanol hingga tahun 2031 sebagai bagian dari dekarbonisasi sektor transportasi. Permintaan biofuel di Indonesia diproyeksikan akan mencapai 51 juta liter pada tahun 2034. Salah satu rencana yang sedang dikerjakan adalah pembangunan pabrik bioetanol di Banyuwangi, bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN), yang akan memiliki kapasitas produksi mencapai 30 ribu kiloliter per tahun.
“Kami memiliki ambisi untuk meningkatkan kapasitas produksi bioetanol. Salah satunya adalah melalui reaktivasi pabrik di Banyuwangi, Glenmore, yang menggunakan molase sebagai bahan baku bioetanol tanpa mengganggu produksi gula,” tambah John.
Dalam bisnis karbon, Pertamina NRE juga menjadi pemain utama di pasar kredit karbon Indonesia, menguasai 93 persen pangsa pasar. Kredit karbon yang dihasilkan berasal dari pembangkit energi rendah karbon dan solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS). Sejak memulai perdagangan karbon di bursa setahun lalu, Pertamina telah menjual 864 ribu ton kredit karbon CO2, sebuah pencapaian yang signifikan dalam upaya mengurangi emisi.
“Untuk mempercepat transisi energi dan mewujudkan target 75 GW energi listrik terbarukan dalam 15 tahun ke depan, kolaborasi diperlukan agar investasi di sektor energi terbarukan bisa lebih agresif serta terjangkau oleh masyarakat luas,” tutup John.