Jakarta, Portonews.com — Perpanjangan fasilitas pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dinilai penting untuk terus mendorong geliat sektor riil dalam perekonomian Indonesia.
Pendapat ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti. Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi mendongkrak daya beli masyarakat di tengah situasi ekonomi yang menantang.
“Pemerintah sebaiknya mengambil langkah ekspansif untuk membantu masyarakat menghadapi pelemahan daya beli. Oleh karena itu, fasilitas PPh 0,5 persen untuk UMKM sebaiknya diperpanjang,” ujar Esther dalam wawancara yang dilakukan di Jakarta, Kamis (21/11).
Gagasan tersebut sejalan dengan pandangan Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, yang sebelumnya mengajukan usulan serupa dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta pada Selasa (19/11). Maman menyatakan bahwa pihaknya sedang menjalin komunikasi dengan Kementerian Keuangan untuk membahas kemungkinan perpanjangan kebijakan ini.
“Kami sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan mengenai usulan perpanjangan tarif pajak 0,5 persen untuk pelaku UMKM,” ungkap Maman.
Kebijakan ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Aturan tersebut memberikan tarif pajak 0,5 persen bagi pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dan berlaku hingga akhir 2024.
Bagi UMKM orang pribadi dengan omzet tahunan hingga Rp500 juta, pemerintah bahkan membebaskan kewajiban pajak. Namun, apabila kebijakan PPh 0,5 persen tidak diperpanjang, pelaku UMKM akan dikenakan tarif pajak normal sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam skema pajak normal, wajib pajak dapat memilih antara pembukuan penuh atau menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). Tarif pajak normal orang pribadi dimulai dari 5 persen untuk omzet hingga Rp60 juta, meningkat menjadi 15 persen untuk omzet antara Rp60 juta hingga Rp250 juta. Tarif lebih tinggi, yakni 25 persen, berlaku untuk penghasilan Rp250 juta hingga Rp500 juta. Untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar dikenakan tarif 30 persen, dan omzet di atas Rp5 miliar dikenakan pajak tertinggi sebesar 35 persen.
Dampak dari penerapan tarif normal ini dapat memberatkan pelaku UMKM, terutama di masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Oleh karena itu, berbagai pihak mendukung perpanjangan kebijakan PPh final 0,5 persen untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan sektor UMKM, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
Kebijakan ini tidak hanya memberikan ruang bernapas bagi pelaku UMKM, tetapi juga dapat memperkuat daya saing mereka di pasar domestik. Dengan tarif pajak yang lebih ringan, pelaku usaha memiliki lebih banyak peluang untuk memperluas operasional, meningkatkan produksi, dan membuka lapangan kerja baru. Pemerintah pun diharapkan dapat mempertimbangkan potensi jangka panjang dari kebijakan ini dalam mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai sektor yang menyumbang hampir 60 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, UMKM memiliki peran yang sangat vital. Langkah strategis untuk mendukung sektor ini melalui insentif pajak yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu kunci bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di masa depan.