Jakarta, Portonews.com — Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menilai kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2025 dapat membantu memulihkan daya beli pekerja.
“Ini langkah positif karena daya beli masyarakat, terutama buruh dan pekerja, saat ini sedang menurun. Kenaikan UMP bisa menjadi stimulus yang diperlukan,” ujar Eko di Jakarta.
Menurut Eko, penetapan kenaikan UMP ini merupakan kabar baik bagi buruh dan pekerja. “Angka 6,5 persen cukup menarik dan bisa membantu meningkatkan daya beli mereka,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam konteks pertumbuhan ekonomi nasional, kenaikan UMP tersebut sudah sesuai dengan rata-rata pertumbuhan. “Jika dilihat dari inflasi umum, angka UMP 2025 berada di atas inflasi, sehingga dapat membantu daya beli para pekerja,” jelas Eko.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa kenaikan UMP sebesar 6,5 persen akan memberikan efek positif bagi dunia usaha.
“Dari kajian Celios, kenaikan UMP yang lebih tinggi dari formulasi UU Cipta Kerja justru memberikan surplus bagi dunia usaha. Pengusaha akan diuntungkan dengan peningkatan omzet karena daya beli membaik,” ungkap Bhima saat dihubungi di Jakarta.
Bhima menjelaskan, berdasarkan simulasi yang dilakukan Celios, pada skenario kenaikan 1,58 persen, surplus usaha bertambah sebesar Rp11,23 triliun. Pada kenaikan 8,7 persen, surplus meningkat menjadi Rp61,84 triliun, dan pada kenaikan 10 persen mencapai Rp71,08 triliun.
“Meski ada peningkatan, dampak pada surplus usaha cenderung lebih moderat dibandingkan dampaknya pada pendapatan masyarakat dan tenaga kerja,” ujarnya.
Temuan ini, menurut Bhima, membantah anggapan bahwa kenaikan upah minimum akan berdampak negatif bagi dunia usaha. Ia juga menekankan pentingnya mengurangi impor barang konsumsi. “Peningkatan konsumsi rumah tangga akan mendorong permintaan barang industri, sehingga pendapatan perusahaan meningkat,” tambahnya.
Namun demikian, Bhima menilai Presiden Prabowo Subianto masih berhati-hati dalam menggunakan UMP sebagai alat untuk mendorong pemulihan daya beli tahun depan. “Kenaikan UMP 6,5 persen masih terlalu rendah untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara signifikan,” kata Bhima.
Menurut perhitungan Celios, idealnya upah minimum naik di atas 8,7 hingga 10 persen untuk mendorong Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp106,3 hingga Rp122 triliun. “Untuk mendorong permintaan domestik, upah minimum perlu dinaikkan lebih tinggi,” tegasnya.
Bhima berharap pemerintah mempertimbangkan revisi kenaikan UMP tersebut. “Dengan kenaikan upah minimum yang lebih baik dari formulasi UU Cipta Kerja, buruh akan memiliki daya beli tambahan, dan uangnya akan langsung memutar roda ekonomi. Masih ada waktu bagi Presiden Prabowo untuk merevisi keputusan ini,” ujarnya.
Presiden Umumkan Kenaikan UMP
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Kenaikan ini sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, yang merekomendasikan kenaikan sebesar 6 persen.
Keputusan tersebut diambil setelah rapat terbatas yang membahas upah minimum sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama mereka yang bekerja kurang dari 12 bulan. Presiden menjelaskan bahwa keputusan final ini diambil setelah melalui diskusi mendalam, termasuk dengan para pimpinan buruh.
Presiden menegaskan bahwa penetapan ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing dunia usaha. “Kami ingin memastikan kesejahteraan pekerja meningkat tanpa mengorbankan keberlangsungan usaha,” kata Presiden Prabowo.