Jakarta, Portonews.com – Asian Development Bank (ADB) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang berkembang menjadi 4,9 persen pada tahun 2024 dan 4,8 persen pada tahun 2025. Revisi ini sebagian dipengaruhi oleh dampak yang lebih terbatas dari pemerintahan Amerika Serikat mendatang.
“Prospek pertumbuhan ekonomi Asia yang berkembang sedikit diturunkan menjadi 4,9 persen untuk 2024 dan 4,8 persen untuk 2025, terutama karena pengaruh kebijakan AS di bawah kepresidenan yang baru,” ujar Kepala Ekonom ADB, Albert Park, mengutip laporan terkini ADB, Jumat (13/12).
Berdasarkan laporan Asian Development Outlook (ADO) Desember 2024, faktor pendorong pertumbuhan dan kondisi perekonomian hingga akhir 2024 pada umumnya tidak banyak berubah dari ADO edisi September 2024.
Albert menjelaskan bahwa perkiraan terbaru ini lebih rendah sekitar 0,1 poin persentase dari estimasi sebelumnya pada bulan September. Pertumbuhan yang lebih lemah dari ekspektasi di Asia Timur dan Asia Selatan menjadi alasan utama penurunan tersebut, meskipun kenaikan proyeksi pertumbuhan tercatat di Kaukasus, Asia Tengah (terutama Azerbaijan, Georgia, Tajikistan, dan Uzbekistan), serta Asia Tenggara.
Adapun untuk tahun 2025, koreksi turun terutama dipicu oleh melemahnya permintaan domestik di Asia Selatan. Tekanan inflasi juga diproyeksikan mereda lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. ADB menyesuaikan prakiraan inflasi 2024 menjadi 2,7 persen—sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya—berkat melambatnya inflasi di sebagian besar subwilayah. Prospek inflasi 2025 pun dipangkas sebesar 0,3 poin persentase menjadi 2,6 persen, mencerminkan meredanya tekanan harga di Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Meski demikian, laporan ADB tersebut menyoroti adanya sejumlah risiko penurunan terhadap prospek pertumbuhan. Salah satu risiko berasal dari potensi perubahan arah kebijakan ekonomi AS yang lebih cepat dan ekstrem. Peningkatan tarif secara lebih menyeluruh oleh Amerika Serikat terhadap Tiongkok maupun mitra dagang lainnya dapat memicu ketegangan perdagangan serta mendorong fragmentasi rantai pasok.
Risiko lain berkaitan dengan kemungkinan kebijakan imigrasi yang lebih ketat, kebijakan fiskal yang lebih ekspansif, arah kebijakan bank sentral AS yang lebih longgar, lingkungan regulasi yang kurang kondusif bagi keberlanjutan, serta perubahan orientasi internasional AS yang lebih mengutamakan kepentingan dalam negeri.
Selain itu, meningkatnya tensi geopolitik dapat memicu volatilitas harga komoditas dan gejolak di pasar keuangan global. Kondisi tersebut diperburuk jika terjadi penurunan lebih lanjut di sektor properti Tiongkok, yang dapat melemahkan perekonomian negara dengan ekonomi terbesar di Asia dan memengaruhi keseluruhan kawasan.