Jakarta, Portonews.com – Libatkan sekitar 5000 masyarakat petani, PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) bersama pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengembangkan ekonomi hijau. Direktur Utama PT PLN EPI Iwan Agung Firstantara, dalam pernyataannya di Jakarta pada Minggu, 04/02 menjelaskan bahwa kerja sama yang diumumkan merupakan langkah strategis untuk memastikan pasokan biomassa tanpa bersaing dalam penggunaan lahan dan pupuk di sektor pangan.
Lebih lanjut, Iwan menyatakan bahwa upaya ini tidak hanya memperkuat sektor pangan dan pakan, tetapi juga memberikan kontribusi positif dengan memanfaatkan lahan marginal. Dengan memproduksi bahan baku utama untuk pakan ternak dan residu ranting sebagai biomassa, inisiatif ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
“Ini adalah bentuk nyata dari ekonomi kerakyatan, dengan partisipasi aktif masyarakat. Melalui terciptanya green economy di lingkungan ini, kita berhasil menciptakan lingkungan yang bersih dan mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat,” ujar Iwan.
Iwan juga menekankan bahwa PLN berkomitmen untuk membangun rantai pasok biomassa, mulai dari perencanaan, pembangunan, pengelolaan, hingga komersialisasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dimiliki oleh PLN.
Direktur Biomassa PLN EPI, Antonius Aris Sudjatmiko, melaporkan bahwa lebih dari 5.000 petani telah merasakan manfaat dari tanaman multifungsi. Tanaman tersebut ditanam di lahan marginal seluas 30 hektare di Kalurahan Gombang dan Karangasem, Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Pada musim kemarau bulan September 2023 yang lalu, penduduk melakukan pemangkasan daun tanaman sebagai pakan ternak. Proses pembibitan dan penanaman tanaman multifungsi ini juga melibatkan pupuk organik FABA yang lebih ekonomis dibandingkan pupuk anorganik seperti NPK dan Urea,” jelas Antonius.
Pada tahun 2023, PLN EPI telah menyediakan 1 juta ton biomassa untuk 43 PLTU, yang berasal dari residu/sampah pertanian, perkebunan, dan perhutanan seperti serbuk gergaji, sekam padi, bonggol jagung, bagasse tebu, pelet tandan kosong sawit, cangkang sawit, cangkang kemiri, serta woodchip dari ranting-ranting dan tanaman replanting karet, bahkan BBJP hasil olahan sampah kota.
Antonius menambahkan bahwa ke depannya, penduduk dapat menjual ranting-ranting tanaman yang akan diolah menjadi energi terbarukan biomassa sebagai pengganti batubara PLTU. Dengan indeks harga biomassa sebesar 1,2 dari harga batu bara, ini hanya akan menaikkan Biaya Pokok Produksi (BPP) sebesar 0,5 sen dolar AS, lebih ekonomis dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya seperti PLTS, PLTB, dan sejenisnya.
Pada sisi lain, Kepala Bebadan Pangreksa Loka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, RM Gustilantika Marrel Suryokusumo, menyampaikan bahwa Keraton Yogyakarta telah mengusung pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goal sejak tahun 1755 dengan menerapkan falsafah Memayu Hayuning Bawono, seperti dilansir dari laman Antaranews.com
“Falsafah Memayu Hayuning Bawono terus diimplementasikan, termasuk dalam ekonomi hijau yang melibatkan masyarakat, seperti yang telah dilakukan oleh Keraton Yogyakarta bersama PLN EPI,” kata Marrel dalam diskusi di Lumbung Mataraman Kalurahan Kedungpoh Kapanewon Nglipar, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Marrel menekankan bahwa ekonomi hijau berbasis partisipasi masyarakat ini bukan hanya meningkatkan ketahanan pangan, air, dan energi, tetapi juga meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Ia berharap model ini dapat diadopsi di wilayah lain sebagai contoh keberhasilan.
“Dengan melibatkan 5.000 petani di Yogyakarta, Keraton Yogyakarta meningkatkan kapabilitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan kemampuan beli atau Green Deflation,” tambah Marrel. Artinya, pada nilai uang yang sama, masyarakat tani mampu membeli lebih banyak barang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebuah fenomena yang dikenal sebagai Green Deflation, yang merupakan kebalikan dari Green Inflation.