Jakarta, Portonews.com – Josefhin Mareta, seorang peneliti di Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah mengungkapkan bahwa masih terdapat banyak pelanggaran hak cipta, khususnya dalam konteks digital. Contoh pelanggaran mencakup digitalisasi buku dalam bentuk e-book, berbagi file, dan penjualan ilegal di marketplace.
“Ada juga pelanggaran hak cipta musik/lagu secara digital seperti cover lagu yang diunggah ke platfom seperti youtube dan Instagram tanpa seizin pemegang hak cipta, bootlegging seperti rekaman konser, rekaman penampilan di tv/film untuk kepentingan pribadi ataupun komersial,” ungkapnya kegiatan Legal Research Discussion (LRD) Seri 19 dengan isu hukum mengenai “Pelindungan Hak Cipta di Era Digital”, Kamis (30/11).
Menurutnya, sebenarnya sudah ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). ”Jadi mereka itu membuat suatu peraturan bersama, di mana mereka itu wajib melakukan pengawasan ataupun pemblokiran konten ataupun hak akses dari seseorang yang melanggar hak cipta. Hal itu ketika ada aduan dari pencipta yang merasa dirugikan haknya,” terang Mareta.
Namun hal itu memang harus ada beberapa persyaratan yang harus dilampirkan oleh si pengadu, seperti bukti dokumen, sebagai bukti bahwa barang lain tersebut dijual secara ilegal, misalnya di e-commerce. Kendati pun, kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan. Seperti contohnya, adanya muatan karya literasi digital yang terkait dengan hak cipta. Menurut Mareta, memang sampai saat ini, di dalam isi undang – undang terkait, belum ada definisi yang jelas mengenai karya literasi dan karya digital. Baik itu buku musik pertunjukan dan yang lainnya, kemudian bagaimana royaltinya bisa didistribusikan yang kemudian ditarik atas penggunaan karya digital oleh orang lain.
Lebih lanjut, Mareta mengungkapkan latar belakang paparannya, seiring perkembangan zaman karya literasi, di mana dulu bentuknya fisik dan sekarang sudah berkembang menjadi bentuk digital. Ia memberi contoh antara lain buku yang sekarang sudah berbentuk PDF, audio book dengan berbagai platform seperti Google play book dan Amazon, musik dalam bentuk MP3 download dengan berbagai platform seperti spotify, Apple music, JOOQ, dan lain sebagainya. Ada lagi untuk aplikasi seperti activation code, free/payable download, juga smart city dengan berbagai platform seperti play store, galaxy store, apple store, dan lain sebagainya. Di bidang perfilman, digunakan aplikasi streaming, juga watch offline dengan berbagai platform seperti Netflix, Viu, HOOQ, Disney, dan lain sebagainya.
Dijelaskannya, pada saat ini, pelanggaran hak cipta digolongkan ke dalam dua pendekatan. Pertama, copying of substansial part yaitu menggandakan bagian inti dari suatu karya cipta. Kita ketahui bersama, di dalam ketentuan undang-undang yang berlaku sebenarnya ada batasan. Hal tersebut yaitu tidak mencakup seluruh atau bagian substansial, juga penggandaan diperbolehkan selama mencantumkan dengan tidak merugikan kepentingan wajar dari pencipta atau bisa juga kesepakatan dari para pihak. Kedua, terkait causal connection yaitu suatu karya cipta yang baru diciptakan terinspirasi dari peristiwa sebelumnya. Jadi ada hubungan antara karya cipta yang sedang diciptakan dengan karya yang diciptakan kemudian.
Untuk lebih menjabarkannya, Mareta menyebutkan tiga metode pembatasan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan ketika seseorang menggunakan tanpa seizin penciptanya. Pertama, berdasarkan kondisi atau kasus tertentu. Pada kasus tertentu ini seseorang diizinkan untuk menggunakan karya ciptaan orang lain tanpa seizinnya. Kedua adalah ketika penggandaan tersebut tidak bertentangan dengan pemanfaatan normal pemilik atau pemegang hak cipta. Hal ini berkaitan dengan substansi. Ketiga, tidak mengurangi kepentingan yang sah dari pencipta.
Hal itu dijabarkan dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Dalam pasal 46 menyebutkan penggandaan untuk kepentingan pribadi atas ciptaan yang telah dilakukan pengumuman tidak mencakup seluruh atau bagian yang subtansial dari suatu buku. Penggandaan diperbolehkan selama mencantumkan sumber tidak merugikan kepentingan wajar dari pencipta.
Menjelaskan hal itu, di Indonesia terdapat tiga kriteria penggunaan ciptaan agar tigak melanggar hak cipta. Pertama, tidak dikomersialkan, jadi untuk kepentingan pribadi. Jika tujuan untuk komersial maka si pengguna ini harus membayar royalty sesuai ketentuan pasal 23 UUHC. Kiteria yang kedua harus mendapatkan izin dari si pencipta sesuai pasal 9 bahwa seseorang dilarang menggunakan ciptaan tanpa izin. Kriteria yang ketiga yaitu tidak melanggar kepentingan yang sah dari pencipta.
Dalam sambutannya, Kepala PR Hukum, Laely Nurhidayah berharap, agar tema yang dibahas dalam diskusi tersebut sangat terkait untuk rumah program PR Hukum yang menghasilkan sesuatu kajian akademis. Diskusi ini dipandu oleh moderator, Ahmad Jazuli.
Sumber : BRIN