Jakarta, Portonews.com – Sebelum tahun 1900, orang-orang (termasuk yang bergelut di dunia medis) menganggap bahwa darah manusia semuanya sama saja. Sebelum abad ke-20, meskipun manusia sudah tahu bahwa darah adalah komponen vital bagi tubuh, kita masih belum banyak tahu tentang apa yang terkandung dalam darah itu sendiri. Alhasil, berbagai hal terkait darah dan proses-proses yang melibatkan darah—termasuk transfusi darah—diselimuti berbagai mitos.
Karena ketidaktahuan ini, banyak usaha transfusi darah berujung pada kegagalan dan kematian. Faktanya, kita bahkan baru tahu kalau manusia hanya bisa menerima darah dari sesama manusia setelah tahun 1818! Sebelum itu, ada berbagai usaha untuk mendonorkan darah manusia dari hewan-hewan seperti anjing, sapi, dan kambing.
Akhirnya, pada tahun 1900, Pak Karl Landsteiner melakukan percobaan pada darah-darah manusia. Pak Karl menemukan bahwa ternyata campuran darah dari sesama manusia juga bisa menyebabkan penggumpalan. Penggumpalan inilah yang membuat transfusi darah gagal.
Setelah melakukan percobaan lanjutan, di tahun 1901 Pak Karl menggolongkan darah menjadi tiga, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Rumusannya yaitu:
- Darah tipe A akan menggumpal jika dicampur dengan tipe B, tapi tidak menggumpal jika dicampur dengan sesama tipe A.
- Darah tipe B akan menggumpal jika dicampur dengan tipe A, tapi tidak menggumpal jika dicampur dengan sesama tipe B.
- Darah tipe C menggumpal ketika dicampur baik dengan tipe A maupun B.
Dalam artikelnya, Pak Karl menulis bahwa kemungkinan terdapat dua macam aglutinogen (konsep aglutinogen ini juga pertama dicetuskan oleh Pak Karl) yaitu aglutinogen A dan B. Aglutinogen A terdapat di darah tipe A; B terdapat di darah tipe B; keduanya terdapat di darah tipe C.
Selanjutnya, Pak Karl menemukan bahwa darah memiliki antibodi, yang bereaksi terhadap aglutinogen. Antibodi ini dinamai anti-A dan anti-B. Pada darah tipe C, tidak ada aglutinogen yang terkandung. Tetapi, darah tipe C mengandung baik anti-A maupun anti-B.
Pada tahun berikutnya, dua murid Pak Karl, yaitu Adriano Sturli dan Alfred von Decastello, menemukan golongan darah keempat, tetapi tidak diberi nama.
Akhirnya, pada 1910, Ludwig Hirszfield dan Emil Freiherr von Dungern, dua ilmuwan asal Polandia dan Jerman, memutuskan memberi nama untuk tiap golongan darah yang sudah ditemukan.
- Tipe A dinamai golongan darah A, karena mengandung aglutinogen A. Nama aglutinogennya sendiri berasal dari abjad pertama Yunani yaitu alfa.
- Tipe B dinamai golongan darah B, karena mengandung aglutinogen B. Nama aglutinogennya sendiri berasal dari abjad kedua Yunani yaitu beta.
- Tipe C dinamai golongan darah O (nol atau null) karena tidak mengandung aglutinogen apa pun. Nama asli golongan ini adalah 0 (nol) tapi dalam perkembangannya dinamai O untuk mempermudah penyebutan.
- Tipe yang belum dinamai, yang ditemukan oleh kedua murid Pak Karl, dinamai golongan darah AB, karena mengandung baik aglutinogen A maupun B.
Sebenarnya, Hirszfield dan von Dungern bisa saja memberi designasi A, B, C, dan D untuk golongan darah ini. Tetapi, untuk mempermudah mengingat aglutinogennya, maka namanya dibuat sesuai dengan aglutinogennya. Hal ini juga akan mempermudah orang-orang memahami dan mengingat konsep golongan darah mana yang boleh didonorkan ke siapa dan siapa yang tidak boleh mendonorkan ke siapa.
Jika ada orang yang meneliti darah lebih lanjut dan ingin tetap membuat designasi ABCD itu, juga masih bisa saja (ingat, golongan darah tidak hanya sistem ABO. Ada yang lain, seperti sistem MN dan Rhesus). Yang penting orang tersebut harus punya dasar yang kuat mengapa menggolongkan darah menjadi ABCD. Jika sistem ABCD ini ternyata memiliki berbagai kelebihan dibanding sistem ABO, maka bukan tidak mungkin sistem ABCD akan menggantikan sistem ABO.