Jakarta, Portonews.com — Kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya yang belakangan ini berada di level tidak sehat mendorong berbagai pihak untuk menyuarakan pentingnya regulasi jangka panjang demi mencegah hal yang sama terjadi di masa depan. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dianggap dapat berperan sebagai payung hukum untuk menjaga kualitas udara sehat di seluruh Indonesia mengingat salah satu sumber pencemar udara adalah pembangkit listrik berbasis energi fosil seperti batu bara.
Sejumlah pihak dari berbagai latar belakang mulai dari organisasi masyarakat sipil (CSO), akademisi, anggota DPD RI, hingga mahasiswa menyuarakan aspirasi mereka untuk menolak “energi baru” dalam RUU EBET dalam media briefing yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih bertajuk “Ubah RUU EBET jadi UU ET: Akselerasi Energi Terbarukan untuk Perangi Polusi Udara” di Jakarta pada Jumat (22/9/2023).
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, “Pasal 53 RUU EBET (draf Juni 2022) mengatur agar harga energi baru mempertimbangkan nilai keekonomian. Kalau kita lihat penjelasan mengenai nilai keekonomian, salah satu poin yang harus dipertimbangkan adalah manfaat kesehatan. Sementara kita tahu, penggunaan energi baru yang bersumber dari bahan bakar fosil justru berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, melalui penurunan kualitas udara.”
Menurut Fajri, selain manfaat kesehatan, draf RUU EBET sebenarnya sudah memasukkan poin-poin pertimbangan yang penting terkait penggunaan sumber energi di antaranya biaya investasi, manfaat lingkungan, sosial, dan manfaat penurunan emisi gas rumah kaca. Namun, pertimbangan tersebut justru bertentangan dengan pilihan sumber energi yang digunakann dengan masih mengandalkan energi fosil berkedok energi baru. “Pemerintah dan DPR mestinya fokus saja mengatur energi terbarukan, tidak perlu lagi ditambahkan dengan energi baru yang sumbernya kita tahu dari mana,” kata Fajri.
Yulinda Adharani, Dosen Hukum Lingkungan Universitas Padjadjaran, menegaskan, RUU EBET yang saat ini sedang dibahas antara DPR dan pemerintah masih jauh yang diharapkan untuk mendukung transisi ke energi terbarukan. Apalagi jika mengingat tujuan awal RUU ini dibuat adalah untuk mendorong transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Menurutnya, draf yang ada sekarang memberi ruang yang sama antara energi baru dan energi terbarukan, yang justru sangat kontraproduktif dengan upaya Indonesia keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil. “Istilah ‘new energy’ itu tidak dikenal di dunia internasional. Dan ketika Indonesia seharusnya lebih ambisius dalam mencapai target bauran energi terbarukan, rencana regulasi yang sedang disusun malah tidak sejalan dengan ambisi itu,” tutur Yulinda.
Menurut Yulinda, Indonesia saat ini justru butuh payung hukum yang jelas khusus untuk energi terbarukan. Karena itu, dia merekomendasikan beberapa hal yang harus dilakukan DPR dan pemerintah. Pertama, perlu ada lembaga atau badan khusus yang mengelola energi terbarukan agar capaian transisi energi terlaksana dengan baik.
Kedua, jika tujuannya untuk transisi energi, lebih baik fokus pada energi terbarukan saja, sementara regulasi mengenai energi baru dimasukkan dalam perubahan UU sektoral.
Yulinda menambahkan, “Rekomendasi ketiga, perlu ada penguatan peran pemerintah daerah serta partisipas publik dalam mengelola energi terbarukan. Keempata, tetap memperhatikan lingkungan dan mengutamakan teknologi ramah lingkungan. Karena bagaimana pun, dalam draf yang sudah ada sekarang pun, sudah mengatur bahwa regulasi ini akan mempertimbangkan manfaatnya bagi lingkungan, hanya saja realisasi dari ketentuan itu yang masih perlu dipertegas.”
Ketua BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Naufal Ammar Motota yang juga menjadi narasumber di kalangan mahasiswa menggarisbawahi, komitmen dan implementasi Indonesia terhadap bauran energi terbarukan masih tidak sejalan. Indonesia berkomitmen untuk mencapai minimal 23% energi terbarukan pada 2025 atau tiga tahun dari sekarang. Namun hingga 2022, bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 14,11% dan jauh dibandingkan batu bara yang lebih dari 67% dari buaran energi nasional.
“Pemerintah seperti salah arah karena mencampuradukkan antara energi baru dan energi terbarukan dalam RUU EBET. Ketidakjelasan prioritas ini yang kemudian akan menjadi problematika tersendiri untuk transisi energi di Indoensia di masa depan,” kata Ammar.
Ammar menjelaskan, pemerintah dan DPR mestinya memikirkan solusi jangka panjang untuk persoalan polusi udara, emisi gas rumah kaca, dan lingkungan yang nantinya juga akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Solusi tersebut dapat dimulai dengan regulasi yang jelas dan kuat untuk mencegah dampak buruk dari pilihan sumber energi yang digunakan. “Saat ini kita sudah melihat dampak buruk penggunaan pembangkit batu bara dengan banyaknya masyarakat yang terdampak akibat polusi udara, dan sejauh ini tidak ada langkah solutif yang ditawarkan. Kami mahasiswa akan bergerak memaksa pemangku kebijakan untuk mengambil langkah yang dibutuhkan,” ujar Ammar.