Jakarta, Portonews.com – Seakan tidak peduli dengan ribut-ribut isu perubahan iklim dan predikat DKI Jakarta yang menyandang kota berkualitas udara terburuk se jagad karena Air Quality Index/AQI mencapai 163 pada 16 Agustus 2023, Septi, pemulung cilik, tanpa mengenakan masker pelindung wajah, telah nongkrong di atas gerobak sampah milik orangtuanya. Padahal tidak jarang Septi didera penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut).
Maklum, dia bersama ayah-bundanya harus berburu botol, gelas bekas minuman mineral, kardus bekas dan kaleng bekas.
Saat itu, jarum jam yang menempel di dinding rumah kontrakan keluarga kecil ini di Gang Penghulu Kampung Melayu Jakarta Timur, baru menunjukkan angka 06.00 pagi.
Septi yang baru berusia 7 tahun terpaksa harus turun ke jalanan bersama kedua orangtuanya, Daud dan Amel. Memulung botol bekas minuman mineral, kardus bekas, kaleng bekas dan lain semacamnya. Karena itu, mereka terlihat bergegas keluar rumah dan segera mendorong gerobak sederhana berukuran, panjang 1 meter x lebar 2,5 meter terbuat dari kayu dan triplek bekas.
Portonews pada Kamis (24/8/2023) menyambangi mereka. Tanpa mengenakan masker. Di pinggir Jl Dewi Sartika Jakarta Timur. Pukul 09.34 WIB. Ketika Septi, Daud dan Amel melepas penat sejenak setelah berkeliling di sepanjang daerah Kampung Melayu.
Menurut Septi, yang punya cita-cita ingin menjadi Polwan dan duduk di bangku kelas I Sekolah Dasar (SD) ini, hasil barang-barang bekas yang dikumpulkan, dijual ke lapak atau dijual borongan.
Hal ini diamini oleh sang ayah. Hasilnya minim. “Bisa (buat –red.) makan saja sudah untung,” timpal Daud, seraya membantu merapikan letak botol-botol dan kardus bekas di gerobak yang berada tidak jauh dari tempat dia duduk. Pasalnya, harga barang-barang bekas hasil mulung dibandrol Rp2.500 per kg. Pendapatannya sehari kurang lebih Rp100.000
Sebagai informasi, ayah Septi berasal dari Cirebon Jawa Barat. Ia sejak tahun 80-an telah menjejakkan kakinya di Jakarta. Mengadu nasib dan peruntungan.
Daud tidak membantah kondisi putrinya yang kerap sakit pernafasan. “Septi sering mengeluh flu, batuk dan gangguan nafas,” tuturnya. Saat ditanya apa putrinya pernah dibawa ke dokter, Daud berucap dengan nada datar, “Untuk hidup saja pas-pasan, apalagi mau ke dokter,” katanya seraya mengimbuhkan dirinya membeli obat di warung sebagai upaya penyembuhan putrinya bila terserang batuk, flu, sesak nafas dan demam.
Berbeda dengan Septi. Haryanto (12) pemulung cilik lain di Cimanggis Depok ini justru tidak mengalami keluhan sakit pernafasan, batuk, flu dan pilek. Padahal putera keenam dari pasangan suami istri Abidin dan Manisem setiap hari menyusuri tepian jalan Raya Cimanggis dengan menggendong karung ukuran 10 kg. Tetapi tanpa lilitan masker wajah. Sebagai pelindung dari paparan polusi udara.
Ditemui pada Rabu (23/8/2023) pukul 17.12 WIB di pinggir Jalan Raya Cimanggis, dia mengaku jarang sakit. “Kalau sakit biasanya kalau musim penghujan. Itu pun pilek,” katanya. Padahal tidak pernah berolah raga tetapi kerap mengonsumsi makanan disertai sayur sop.
Haryanto menjalani hidup sebagai pemulung telah berlangsung sekitar 5 tahun. “Orangtua saya juga menjadi pemulung. Mereka juga tidak mengenakan masker,” tuturnya. Ketika ditanyakan alasan enggan mengenakan masker, dia menjawab, “Malas,” tegasnya. Padahal di rumahnya tersedia alat pelindung muka atau masker wajah.
Dia mulai berangkat mulung dari rumahnya di Jl Pasar Kambing Juanda Cimanggis Depok Jawa Barat dari pukul 15.00 WIB hingga 22.00 WIB.
Pemulung cilik ini mencari botol bekas minuman mineral di sepanjang jalan Cimanggis Depok. Kemudian ia kumpulkan di karung. Sesampai di rumah, botol-botol bekas ditaruh di gerobak. Setelah ditimbang, lalu dijual per kg dengan harga Rp2.500 ldi Komplek Pertamina.
Walaupun menjadi pemulung, tetapi Haryanto tetap memiliki cita-cita ketika dewasa nanti. “Cita-cita saya ingin menjadi pengusaha,” tuturnya, dengan wajah malu-malu.
Kisah Septi dan Haryanto hanya ibarat puncak gunung es. Terlihat di permukaan saja. Boleh jadi, terdapat jutaan anak yang senasib dengan mereka. Padahal anak-anak dapat dikategorikan sebagai kelompok sangat rentan terpapar polusi udara. Apalagi di tengah perkotaan.
Sebagai informasi, jumlah pemulung (termasuk pemulung anak) di Indonesia cukup banyak dan mudah dijumpai di wilayah perkotaan. Menurut Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), pemulung di Indonesia sekitar 3,7 juta yang tersebar di 25 provinsi. Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah pemulung tahun 2018 sebanyak 5 juta orang di 25 provinsi.
Fenomena pemulung anak yang turut diikutsertakan orantua mereka atau anak-anak yang karena tuntutan hidup terpaksa menjadi pemulung kini kembali marak saat terjadi Covid-19 dua tahun silam.
Kementerian Sosial menggambarkan pemulung sebagai golongan sosial yang memiliki usaha mengumpulkan dan memungut barang bekas di berbagai tempat permukiman, pertokoan, dan pasar untuk didaur ulang atau dijual kembali, sehingga memiliki nilai ekonomis.
Ini kata DPR dan pengamat
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily, anak-anak seharusnya mendapatkan kehidupan yang dijamin hak pengasuhannya yang layak, mendapatkan akses pendidikan dan tidak boleh dipekerjakan.
“Memperkerjakan anak-anak di bawah umur merupakan tindakan yang mencerabut hak anak-anak. Ketentuan itu telah tercantum dalam UU Perlindungan Anak,” kata Ace pada Portonews, Minggu (27/8/2023) di Jakarta.
Secara regulasi, lanjut Ace, Komisi VIII DPR RI tentu akan mengawasi bagaimana implementasi kebijakan perlindungan anak yang dilakukan Pemerintah dimana secara teknis di bawah Kementerian Sosial RI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada anak-anak yang dipekerjakan dan dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi termasuk menjadi pemulung,” ujar alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Hal senada juga diungkapkan oleh pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti. “Jika anak-anak tersebut terbukti dieksploitasi secara ekonomi oleh keluarganya, maka orangtuanya bisa dipidana karena melanggar UU Perlindungan Anak terkait eksploitasi anak secara ekonomi,” tegas mantan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini pada Portonews, Senin (28/8/2023) di Jakarta. Apalagi jika ternyata anak-anak tersebut disuruh berkerja tetapi tidak di sekolahkan.
Menurut Retno, perlindungan dari polusi udara oleh pemerintah, tentu saja tidak hanya untuk anak-anak pemulung saja tetapi juga seluruh anak di wilayah tersebut. Pasalnya, memperoleh udara yang bersih adalah hak anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik ketika anak sehat.
Untuk menciptakan ruang udara yang bersih, kata Retno, pemerintah harus menekan angka polutan dengan keharusan mengawasi sumber sumber polutan. Misalnya, semua kendaraan harus melakukan uji emisi, pabrik pabrik harus diawasi cerobong pembuangan limbahnya dan lain lainnya.
Menurut Retno, pemerintah memiliki beragam kebijakan yang ramah anak, misalnya untuk hak atas pendidikan ada program Indonesia pintar (PIP) dari APBN dan Kartu Jakarta Pintar dari APBD, program keluarga harapan (PKH) dari Kemensos, dan lain-lainnya. “Asalkan data anak-anak terlantar itu masuk dalam data keluarga miskin maka akan mendapatkan semua bantuan pemerintah melalui program program tersebut,” kata Retno. Bahkan pasal 34 UUD 1945 juga mewajibkan negara untuk memelihara anak dari keluarga miskin.
Apa yang diungkapkan Retno diperkuat oleh Ace. DPR sebagai lembaga yang mengontrol pemerintah, kata Ace, akan segera melakukan evaluasi terhadap kinerja mitra Komisi VIII DPR yang bertanggungjawab terhadap perlindungan anak terkait dengan polusi udara dan aspek kesehatan mereka. Diantara mitra kerja Komisi VIII DPR RI adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Mantan aktifis Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) ini tidak mengingkari bahwa kelompok anak-anak yang dipekerjakan tersebut paling rentan terkena polusi udara di tengah perubahan iklim dan kesehatan mereka. “Harus diidentifikasi seberapa banyak anak-anak yang bekerja di sektor itu dan diberikan perlindungan atas kehidupan mereka,” kata mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Data UNICEF dan rekomendasi KPAI
Kerentanan anak-anak terimbas polusi udara di tengah masa perubahan iklim ini diamini oleh Direktur Eksekutif UNICEF ke-6, Anthony Lake, mengutip dari laman resmi United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) Selasa (15/8/2023). Menurut Lake, anak-anak lebih rentan terhadap polusi udara daripada orang dewasa karena paru-paru, otak, dan sistem kekebalan mereka masih dalam tahap perkembangan.
“Saluran pernapasan mereka juga lebih permeabel (dapat ditembus partikel),” tulis UNICEF. Dia juga berpendapat, anak-anak lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat polusi karena mereka bernapas lebih cepat dari orang dewasa sehingga udara yang terhirup lebih banyak.
UNICEF juga menyebutkan bahwa satu dari tujuh anak di dunia terpapar polusi udara yang paling beracun. Laporan UNICEF pada 2016 menemukan bahwa ada 300 juta anak tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara di luar ruangan yang paling beracun. Kualitas udara tersebut diklaim enam kali lebih tinggi dari pedoman yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Polusi udara adalah faktor utama dalam kematian sekitar 600 ribu anak di bawah usia lima tahun setiap tahunnya. Selain itu, ini (polusi udara) mengancam nyawa dan masa depan jutaan anak setiap hari,” ujar Lake.
Untuk itu UNICEF merekomendasikan seluruh pihak untuk meminimalisir paparan anak-anak terhadap polusi, seperti tidak memilih lokasi sekolah atau area bermain di dekat pabrik, menjaga kompor masak agar lebih bersih, dan mengelola sampah dengan baik.
“Kompor masak yang lebih bersih dapat memperbaiki kualitas udara di dalam rumah. Mengurangi polusi udara secara keseluruhan dapat membantu mengurangi paparan anak-anak,” tulis UNICEF.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan empat rekomendasi untuk anak-anak terkait polusi udara. Empat rekomendasi disampaikan Wakil Ketua KPAI Jasra Putra, di gedung KPAI lantai 3 pada, Senin (21/8/2023).
Dikuti dari laman resmi kpai.go.id berikut rekomendasi KPAI: Pertama, memperkuat screening kesehatan terhadap anak di seluruh wilayah DKI Jakarta dengan melibatkan satuan pendidikan dan orang tua serta lingkungan tempat anak. Khusus bagi anak yang teridentifikasi sakit atau sedang sakit layanan kesehatan segera menindaklanjuti untuk dilakukan pengobatan lebih lanjut di fasilitas layanan kesehatan.
Kedua, satuan pendidikan dengan koordinasi Dinas Pendidikan dan Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta memberikan fasilitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berkualitas kepada peserta didik yang teridentifikasi terkena dampak polusi udara.
Ketiga, meningkatkan penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan protokol kesehatan di lingkungan satuan pendidikan dan keluarga untuk melakukan pencegahan. Keempat, satuan pendidikan di sekitar wilayah penyelenggaraan ASEAN KE-43 dapat dilakukan PJJ secara menyeluruh dengan tetap mempertimbangkan PJJ yang menyenangkan dan berkualitas.
Selanjutnya yang patut dipertanyakan, apakah empat rekomendasi dan kebijakan KPAI tersebut juga berlaku serta menyentuh para pemulung cilik? Bukankah mereka juga anak-anak Indonesia yang wajib dilindungi oleh negara? sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.