Salah satu hikmah yang kita peroleh pada Hari Raya Idul Adha, adalah kisah keteladanan Nabi Ibrahim AS dalam hal integritas dan keyakinan yang kukuh. Sebuah prinsip yang harusnya menjadi contoh bagi anak manusia. Seorang pribadi dan pemimpin yang gigih, tegas, siap menanggung risiko perjuangan dalam mempertahankan akidah.
Dalam buku “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” karya Herbert Feith yang kini tergolong buku klasik mengenai sejarah politik Indonesia, Feith menggolongkan dua tipe kepemimpinan tokoh politik di Indonesia. Pertama, pemimpin yang bertipe solidarity-makers (penggalang solidaritas) sebagaimana tipe kepemimpinan Soekarno. Kedua adalah pemimpin yang bertipe administrator, merujuk pada figur Mohamad Hatta (Bung Hatta). Bung Karno terkenal sebagai penggalangan kesatuan dan solidaritas, berusaha mendampingkan tiga paham ideologi: nasional, agama dan komunisme (Nasakom). Bung Karno kukuh dan bersiap mengahadapi semua risiko mempertahankan pilihan politik yang dianggapnya benar, tetapi apa yang terjadi? hidupnya berakhir dalam sebuah tragedi.
Robert Wolter Mongosidi, seorang anak muda pejuang kemerdekaan masa revolusi di Makassar, tidak gentar dan tidak mau menukar kesetiaannya ketika berhadapan dengan regu tembak penguasa Belanda. Ia menulis pesan-pesan pada sebuah kertas beberapa saat sebelum menjalani eksekusi: “Setia hingga terakhir dalam keyakinan”. Wolter memakai kearifan Bugis Makassar : “Taro Ada Taro Gau” (Satu kata dan perbuatan), atau “makkanre’ samparajae’, sep-pipi nalara”, (jika jangkar sudah tertancap, patah baru kita hanyut). Saya yakin masih banyak kearifan lokal semacam ini di tanah air kita, prinsip integritas, konsisten pada keyakinan dengan perbuatan. Betapa indah, jika semua itu tetap bisa dipertahankan.
Sekarang, masih adakah prinsip integritas itu jika setiap tindakan apapun motifnya selalu materi. Motivasi tindakan seseorang semua berdasarkan dogma jual beli dan balas budi. Pada setiap peluang, selalu terbaca apa yang bisa diambil dan manfaatkan dari sana, keuntungan finansial selalu menjadi tujuan akhir. Seperti determinisme ekonomi, sebuah basis teori yang terkenal, berasumsi bahwa motivasi dasar manusia adalah ekonomi bukan kesadaran manusia yang menentukan kehadirannya tetapi eksistensi sosialnya yang menentukan kesadaran. Karena itu, apa yang kita lakukan dalam politik, apa yang kita pikirkan dan katakan, semuanya ditentukan oleh pertimbangan ekonomi.
Sungguh dangkal hidup kita jika persahabatan dan kekeluargaan sudah ditakar dengan materi. Ketika senyuman pun hendak kita taksir dengan pembayaran, uluran tangan yang dulu diberikan sukarela, dikalkulasi untung ruginya.
Bagaimana integritas dipertahankan, jika motif dan tindakan seseorang berdasarkan dogma jual beli seperti itu. Hukum yang membuat rakyat merasa dilindungi, dihormati martabatnya dan hak-haknya, tetapi kini untuk mencari keadilan dan putusan hukum diatur dan dibeli dengan uang.
Kemana suara para cerdik pandai yang seharusnya tampil dalam keadaan seperti ini? Masih sibukkah mereka berdebat mengenai teori dan ilmu, berumah di atas angin?
Masih hangat dalam ingatan kita seorang aktivis yang cendikia, dulu pendekar anti korupsi, menunjuk hidung semua “politisi hitam”, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan atau “birokratik rente”, pejabat publik yang memajak rakyat ketika diminta jasanya. Tetapi, ketika aktivis tersebut mendapat jabatan dalam pemerintahan, kini tertukar keyakinannya. Sangat kontras. ia tiba-tiba menjadi petugas yang manis, sibuk mengurus kegiatan administrasi belaka di kamar kerjanya yang dingin. Padahal kawan sejawatnya, model “politisi hitam” atau “birokratik rente” yang dikecamnya dulu telah berada disekelilingnya.
KH. Syaifuddin Zuhri, tokoh dan politisi yang amanah, pernah menulis: bahwa perbuatan mengabdi dan melayani bersumber dari hati nurani yang mempunyai kekayaan rohani, dalam kata lain adalah agama. Tanpa kekayaan rohani, jiwa mengabdi dan ketulusan tidak pernah bakal tumbuh. Di situ hadir kata nilai yang tidak bisa diukur dengan materi.
Sungguh berat meneladani integritas dan keyakinan Nabi Ibrahim AS, integritas itu memang mahal.