Jakarta, Portonews.com – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan melakukan sidang perdana Praperadilan pada tanggal 16 Oktober 2023 terkait gugatan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, atas penetapan status tersangka dan penahanannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ahli Hukum Keuangan Publik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), DR. Dian Puji Simatupang, SH, MH di Jakarta, Rabu (11/10/2023) menyatakan bahwa Praperadilan yang dilakukan Karen Agustiawan sudah tepat, karena bukti-bukti kerugian tidak jelas dan tidak didasarkan pada pemenuhan kerugian dalam pengambilan keputusan korporasi.
“Untuk menentukan ada tidaknya kerugian di sebuah korporasi yang merugikan keuangan negara tidak dapat hanya dibebankan kepada seseorang, karena pengambilan keputusan di korporasi didasarkan pada prinsip perusahaan yang sehat. Dengan demikian, alat bukti ada tidaknya kerugian yang nyata harus pasti, jelas dan valid,” ujar Dian.
Lebih lanjut disampaikan pemeriksaan atas perbuatan melawan hukum atas tindakan direksi harusnya dilakukan dengan mekanisme dalam Pasal 138 UU Perseroan Terbatas. Selain itu, dugaan kerugian negara dalam korporasi BUMN tidak dapat dibuktikan. Hal ini karena tidak menggunakan anggaran APBN dan/atau tidak mendapatkan fasilitas langsung dari negara.
“Terlalu prematur dan paradoksial dugaan kerugian negara (kasus pengadaan LNG Pertamina) dalam korporasi hanya disebabkan satu orang tanpa memahami konsep pengambilan keputusan pada korporasi tersebut,” tambah Dian.
Terkait dengan adanya tuduhan KPK bahwa pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction telah menyebabkan terjadinya over supply yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, Dian Puji Simatupang mengatakan bahwa penilaian ada tidaknya kerugian negara tidak dapat dinilai dan disimpulkan dari kondisi over supply yang bersifat teknis dan praktis.
“Kerugian korporasi atau kerugian negara sekalipun penilaian dan perhitungannya harus pada nilai buku dan nilai wajar yang nyata. Dalam praktiknya, oversupply tidak menimbulkan damage atau loss korporasi karena dicatat sebagai biaya atau diakui sebagai pengeluaran yang dicatat. Pencatatan tersebut merupakan pengakuan yang sah, yang tidak dapat dijadikan dasar menilai ada atau tidaknya kerugian korporasi atau kerugian negara,” jelas Dian.
Pakar Hukum Keuangan lainnya, Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LLM juga di Jakarta, Rabu (11/10/2023), menyampaikan bahwa Praperadilan adalah hak yang diberikan kepada tersangka guna mencegah berlanjutnya kesewenang-wenangan penguasa. Menurut dia, dalam kasus tuduhan merugikan keuangan negara, KPK membutuhkan pendapat lembaga yang diberi kewenangan yaitu BPK atau BPKP.
“Dibutuhkan pendapat BPK yang memiliki kewenangan konstitusional, minimal BPKP. Harus jelas berapa jumlah kerugian dan kapan terjadi kerugian tersebut. Tidak boleh atas dasar kira-kira, harus pasti,” ujar Zulkarnain yang pernah menjadi Deputi Komisioner Bidang Hukum Otoritas Jasa Keungan (OJK).
Zulkarnain menambahkan bahwa pada hakikatnya hukum itu untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa. Namun dalam penegakannya, hukum memerlukan kekuasaan. Oleh karena itu kekuasaan jangan sampai disalahgunakan, yakni bukan untuk melindungi masyarakat.
“Pada hukum pidana berlaku prinsip beyond reasonable doubt (tidak boleh atas dasar kira-kira) sebelum seseorang dijatuhi sanksi pidana. Karena sanksi pidana berkaitan dengan hak-hak dasar manusia yaitu hak kemerdekaan, kehormatan bahkan hak atas untuk hidup,” jelasnya.
Dia melanjutkan bahwa proses pembuktian yang sangat ketat dan menggunakan pengetahuan serta alat bukti haruslah jelas dan akurat, agar hilang keragu-raguan bahwa seseorang benar-benar bersalah dan memiliki mens rea atau berniat jahat untuk melakukan kesalahan.
Zulkarnain pun menambahkan bahwa, kerugian yang dituduhkan sebagai penyebab kerugian negara yang terjadi pada periode Pandemi Covid19 (2020-2021), bukanlah kesalahan manajemen. Hal ini dinyatakan dalam UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.